Gejala Awal Infeksi Bakteri Pemakan Daging yang Hantui Warga Jepang

Yuliawati
Oleh Yuliawati
24 Juni 2024, 13:47
Pejalan kaki yang mengenakan masker pelindung di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), berjalan ke distrik perbelanjaan Ginza yang ditutup untuk mobil pada hari Minggu di Tokyo, Jepang, Minggu (10/1/2021).
ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon/WSJ/sa.
Pejalan kaki yang mengenakan masker pelindung di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), berjalan ke distrik perbelanjaan Ginza yang ditutup untuk mobil pada hari Minggu di Tokyo, Jepang, Minggu (10/1/2021).
Button AI Summarize

Wabah infeksi bakteri pemakan daging atau Streptococcus pyogenes sedang merebak di wilayah Jepang. Gejala awal infeksi bakteri pemakan daging ini mirip dengan penyakit umumnya.

Bakteri streptokokus grup A (GAS) ini berbahaya karena bisa menyebabkan sindrom yang membawa kematian. Dalam kondisi yang jarang terjadi, streptokokus grup A (GAS) dapat menjadi invasif ketika bakteri menghasilkan racun yang memungkinkannya mengakses aliran darah, menyebabkan penyakit serius yang disebut streptococcal toxic-shock syndrome (STSS).

Gejala infeksi bakteri streptokokus grup A (GAS) di antaranya demam, nyeri dan radang tenggorokan. Namun gejala ini dapat berkembang dengan cepat dan mengancam nyawa penderita karena berujung kegagalan organ hanya dalam hitungan hari.

STSS ini memiliki angka kematian hingga 30%. Artinya 30% orang yang terinfeksi bakteri tersebut tidak dapat selamat.

Berdasarkan data Institut Nasional Penyakit Menular Jepang (NIID), jumlah pasien terjangkit sindrom STSS nyaris 1.000 kasus atau persisnya 977 kasus dalam kurun waktu enam bulan sejak Januari 2024, seperti dikutip dari The Japan Times di Tokyo, Senin.

Bakteri pemakan daging ini mampu merusak kulit, lemak dan jaringan yang menutupi otot dalam waktu singkat. Bakteri dapat menimbulkan kondisi yang serius jika menembus hingga aliran darah dan jaringan dalam.

Dari situlah, bakteri menyebar dan mulai memproduksi eksotoksin yang merusak sel serta jaringan tubuh. Kelompok paruh baya dan lansia di atas 50 tahun cenderung lebih rentan terhadap sindrom tersebut.

Setelah timbul gejala awal, seperti demam, nyeri dan mulai, tekanan darah menjadi rendah dan kondisi kian memburuk hanya dalam waktu 24 hingga 48 jam.

“Sebagian besar kematian terjadi dalam 48 jam. Saat pasien merasakan kaki mereka bengkak di pagi hari, itu dapat menyebar ke lutut di siang hari dan dapat mengancam nyawa mereka dalam 48 jam,” menurut pakar penyakit menular Tokyo Women’s Medical University Ken kikuchi.

Kementerian Kesehatan Jepang belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kasus STSS. “Ada banyak faktor terkait mekanisme di balik bentuk Streptococcus yang parah dan tiba-tiba dan kami belum berada pada tahap menjelaskannya,” kata NIID.

Wabah infeksi itu juga berbarengan dengan ancaman penyakit di musim panas.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo mengimbau seluruh warga negara Indonesia (WNI) di Jepang untuk meningkatkan imunitas tubuh dengan menjaga asupan makanan yang baik, bersih, sehat dan bergizi.

Selain itu, WNI juga diminta untuk meminum banyak air putih, menggunakan topi atau payung, mengenakan pakaian ringan dan longgar, menggunakan tabir surya guna menghindari terkena sengatan panas (heat stroke).

Professor Ken Kikuchi, dari Universitas Kedokteran Wanita Tokyo, mengatakan kepada NHK bahwa peningkatan tersebut mungkin disebabkan oleh melemahnya sistem kekebalan masyarakat setelah Covid.

“Kekebalan tubuh bisa kita tingkatkan jika kita terus menerus terpapar bakteri. Namun mekanisme itu tidak ada selama pandemi virus corona. Jadi, kini semakin banyak orang yang rentan terhadap infeksi, dan itu mungkin menjadi salah satu alasan meningkatnya kasus secara tajam," kata Kikuchi.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...