Fokus Nuklir: Risiko Peledakan Nuklir di Ruang Angkasa Gentarkan Pentagon
Dalam beberapa tahun ini, para pejabat Pentagon alias Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) telah beberapa kali memperingatkan soal ancaman peledakan nuklir di ruang angkasa. Pada 2020, Dokumen Strategi Pertahanan Ruang Angkasa menyebut bahwa ancaman serius terhadap operasi ruang angkasa AS datang dari Rusia dan China, selain Iran dan Korea Utara.
Pada awal Mei, Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Robert A. Wood mengungkapkan Rusia telah memiliki beberapa senjata anti-satelit di orbit, salah satunya diuji coba pada 2019. “Ada informasi yang kredibel bahwa Rusia mengembangkan satelit baru yang membawa perangkat nuklir,” ujarnya dalam sidang pleno PBB yang membahas resolusi larangan senjata nuklir di ruang angkasa. Resolusi ini untuk mengukuhkan Perjanjian Ruang Angkasa 1967.
Sebelumnya pada April, dalam sidang Dewan Keamanan PBB, resolusi tersebut gagal disahkan meski disetujui mayoritas anggota karena Rusia menggunakan hak veto. Rusia dan China menawarkan resolusi tandingan yang intinya melarang segala jenis senjata di ruang angkasa. Namun, AS dan negara aliansinya menolak sehingga resolusi tandingan ini pun gagal disahkan.
Seberapa Berbahaya Peledakan Senjata Nuklir di Ruang Angkasa?
Minggu malam, 9 Juli 1962, Amerika Serikat meledakkan misil nuklir pada ketinggian 400 kilometer di atas Laut Pasifik. Beberapa surat kabar melaporkan ledakan nuklir tersebut menciptakan bola api raksasa. Cahayanya berpendar menghasilkan “eerie sunset” alias langit senja yang mengerikan dan bentaran cahaya mirip aurora. Fenomena tersebut terlihat ribuan kilometer jauhnya dari Kepulauan Hawai hingga New Zealand.
Itu bukan uji coba peledakan nuklir pertama maupun terakhir di ruang angkasa, tapi tercatat sebagai yang paling berdampak. Dikenal dengan nama Starfish Prime, uji coba tersebut melepas misil nuklir berkekuatan 1,45 megaton atau 100 kali lipat lebih besar dari bom yang dijatuhkan militer Amerika Serikat pada 6 Agustus 1945 di Hirosima, Jepang.
Tak ada catatan korban jiwa akibat Starfish Prime, sedangkan dampak kesehatan sulit ditelusuri. Namun, di Orbit Bumi Bawah atau Low Earth Orbit dimana misil meledak, sejumlah satelit dilaporkan mengalami kerusakan saat peledakan maupun pascapeledakan akibat radiasi yang bertahan dalam waktu panjang. Di bumi, gelombang elektromagnetik menyebabkan listrik padam, kerusakan pada peralatan elektronik, dan gangguan telekomunikasi.
Meski daya ledak lebih besar, kerusakan yang dihasilkan dari peledakan di ruang angkasa lebih kecil dibandingkan peledakan di darat. Namun, di dunia modern yang banyak bergantung pada satelit dan serba elektronik, serangan semacam itu bisa menyebabkan kekacauan. Satelit digunakan untuk telekomunikasí, navigasi, observasi astronomi, pemantauan cuaca untuk kepentingan beragam sektor, hingga misi pertahanan keamanan, termasuk kegiatan spionase.
Dalam rapat parlemen Amerika Serikat, Asisten Sekretaris Kebijakan Pertahanan Angkasa John Plumb pernah mengungkapkan, peledakan nuklir di angkasa bisa membuat Orbit Bumi Bawah dimana mayoritas satelit mengorbit tidak bisa dipakai dalam waktu yang lama, kemungkinan setahun.
Mengacu pada data orbiting.com, saat ini terdapat lebih dari 10.000 satelit yang mengorbit bumi, kebanyakan di Orbit Bumi Bawah atau Low Earth Orbit yang berada pada ketinggian kurang dari 2.000 kilometer, terbanyak milik pemerintah dan perusahaan Amerika. Ini termasuk sekitar 6.000 satelit Starlink yang menyediakan jaringan berkecepatan tinggi, yang juga digunakan militer Ukraina di tengah perang dengan Rusia. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan tahun 1960-an saat uji coba Starfish Prime dilakukan.