CEO Telegram Pavel Durov Ditangkap di Prancis

Hari Widowati
26 Agustus 2024, 06:38
Pavel Durov, miliarder kelahiran Rusia yang merupakan pendiri dan pemilik aplikasi perpesanan Telegram, ditangkap di bandara Le Bourget di luar kota Paris tidak lama setelah mendarat dengan jet pribadi, Sabtu (24/8) malam.
ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Pavel Durov, miliarder kelahiran Rusia yang merupakan pendiri dan pemilik aplikasi perpesanan Telegram, ditangkap di bandara Le Bourget di luar kota Paris tidak lama setelah mendarat dengan jet pribadi, Sabtu (24/8) malam.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pavel Durov, miliarder kelahiran Rusia yang merupakan pendiri dan pemilik aplikasi perpesanan Telegram, ditangkap di bandara Le Bourget di luar kota Paris tidak lama setelah mendarat dengan jet pribadi, Sabtu (24/8) malam. Penangkapan miliarder teknologi berusia 39 tahun ini memicu peringatan dari Moskow ke Paris bahwa ia harus diberikan hak-haknya.

Pemilik X, Elon Musk, mengkritik pengangkapan Durov dan mengatakan bahwa kebebasan berbicara di Eropa sedang diserang.

Tidak ada konfirmasi resmi dari Prancis mengenai penangkapan tersebut, namun dua sumber polisi Prancis dan satu sumber Rusia yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan bahwa Durov ditangkap tidak lama setelah tiba di bandara Le Bourget dengan jet pribadi dari Azerbaijan.

Salah satu dari dua sumber polisi Prancis mengatakan bahwa sebelum kedatangan jet tersebut, polisi telah mengetahui bahwa Durov ada dalam daftar penumpang dan bergerak untuk menangkapnya karena dia adalah subjek dari surat perintah penangkapan di Prancis.

“Telegram mematuhi hukum Uni Eropa, termasuk Undang-Undang Layanan Digital - moderasi Telegram berada dalam standar industri dan terus meningkat,” kata Telegram dalam sebuah pernyataan tentang penangkapan tersebut, seperti dikutip Reuters, Senin (26/8).

Menurut pernyataan tersebut, CEO Telegram Pavel Durov tidak memiliki sesuatu yang disembunyikan dan sering bepergian ke Eropa. “Tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa sebuah platform atau pemiliknya bertanggung jawab atas penyalahgunaan platform tersebut,” demikian pernyataan Telegram.

Durov, yang memiliki kewarganegaraan ganda Prancis dan Uni Emirat Arab, ditangkap sebagai bagian dari penyelidikan awal polisi atas dugaan mengizinkan berbagai macam kejahatan karena kurangnya moderator di Telegram dan kurangnya kerja sama dengan polisi, kata sumber ketiga polisi Prancis.

Menurut sumber Reuters, sebuah unit polisi keamanan siber dan unit polisi anti-penipuan nasional Prancis memimpin penyelidikan. Ia menambahkan hakim investigasi memiliki spesialisasi dalam kejahatan terorganisir.

“Kami menunggu penyelesaian yang cepat dari situasi ini. Telegram bersama Anda semua,” kata Telegram. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri Prancis, polisi dan kantor kejaksaan Paris tidak memberikan komentar.

Anggota parlemen Rusia Maria Butina, yang menghabiskan 15 bulan di penjara AS karena bertindak sebagai agen Rusia yang tidak terdaftar, mengatakan bahwa Durov adalah seorang tahanan politik. "Durov menjadi korban perburuan penyihir oleh Barat," ujar Butina. Penangkapan Durov menjadi berita utama di Rusia.

Telegram, yang berbasis di Dubai, didirikan oleh Durov yang meninggalkan Rusia pada 2014 setelah ia menolak untuk memenuhi tuntutan untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VK miliknya.

Aplikasi terenkripsi dengan hampir 1 miliar pengguna ini sangat berpengaruh di Rusia, Ukraina, dan republik-republik bekas Uni Soviet. Aplikasi ini menduduki peringkat sebagai salah satu platform media sosial utama setelah Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan WeChat.

Asal Usul dan Pengaruh Telegram

Durov, yang diperkirakan oleh Forbes memiliki kekayaan sebesar US$15,5 miliar (Rp 238,72 triliun), mengatakan pada bahwa beberapa negara telah berusaha menekannya. Namun, aplikasi ini harus tetap menjadi platform yang netral dan bukan pemain dalam geopolitik.

Durov mendapatkan ide untuk aplikasi pesan terenkripsi saat menghadapi tekanan di Rusia. Adik laki-lakinya, Nikolai, yang merancang enkripsi tersebut.

“Saya lebih suka bebas daripada menerima perintah dari siapa pun,” kata Durov pada April lalu mengenai kepergiannya dari Rusia dan mencari tempat untuk perusahaannya, yang termasuk di Berlin, London, Singapura, dan San Francisco.

Setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada tahun 2022, Telegram telah menjadi sumber utama konten tanpa filter dari kedua belah pihak tentang perang dan politik seputar konflik. Kadang-kadang konten yang ada di Telegram ini menyesatkan.

Platform ini telah menjadi “medan perang virtual” untuk perang, yang banyak digunakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dan para pejabatnya, serta pemerintah Rusia.

Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa mereka telah mengirim surat ke Paris untuk meminta akses ke Durov, meskipun dikatakan bahwa ia memiliki kewarganegaraan Prancis.

Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa Durov telah salah menilai dengan melarikan diri dari Rusia dan berpikir bahwa ia tidak akan pernah harus bekerja sama dengan dinas keamanan di luar negeri.

Medvedev, yang secara teratur menggunakan Telegram untuk mengkritik dan menghina Barat, mengatakan bahwa Durov ingin menjadi manusia dunia yang brilian yang hidup dengan luar biasa tanpa Tanah Air.

“Dia salah perhitungan. Untuk semua musuh bersama kita sekarang, dia adalah orang Rusia - dan karena itu tidak dapat diprediksi dan berbahaya,” ujar Medvedev.

Rusia mulai memblokir Telegram pada 2018 setelah aplikasi ini menolak untuk mematuhi perintah pengadilan yang memberikan akses kepada badan keamanan negara untuk mengakses pesan terenkripsi penggunanya. Tindakan ini mengganggu banyak layanan pihak ketiga, tetapi hanya berdampak kecil pada ketersediaan Telegram di sana. Namun, perintah pelarangan tersebut memicu protes massal di Moskow dan kritik dari lembaga swadaya masyarakat.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...