Pakar Hukum Nilai Sengketa Laut Natuna Tak Selesai Sampai Akhir Zaman
Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai sengketa antara Indonesia dan Tiongkok di Laut Natuna Utara tak akan pernah selesai. Alasannya, kedua negara memiliki dasar hukum masing-masing ketika mengklaim Laut Natuna Utara.
Hikmahanto mengatakan, Indonesia mengklaim hak berdaulat di Laut Natuna Utara melalui ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau konvensi Hukum Laut PBB pada 1982. “Kalau dari pemerintah Indonesia kita menarik garis 200 mil itu mengarah ke Tiongkok,” kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (12/1).
(Baca: Negara Maritim, Ini Tiga Batas Laut Indonesia)
Di sisi lain, Tiongkok mengklaim Laut Natuna Utara sesuai nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang dibuatnya sendiri. Garis tersebut menandai wilayah historis Laut Cina Selatan seluas dua juta kilometer persegi.
Tiongkok mengklaim 90% wilayah itu sebagai hak maritimnya, meskipun berjarak dua ribu kilometer dari Cina daratan. “Jadi mereka buat itu dan kemudian mereka meminta nelayan-nelayannya ke sana ambil ikan,” ujar Hikmahanto.
Menurut dia, perbedaan dasar hukum atas klaim Laut Natuna Utara tersebut membuat Indonesia dan Tiongkok kesulitan bernegosiasi. Alhasil, kedua negara sulit untuk menyepakati hak berdaulat di Laut Natuna Utara. “Saya bilang masalah itu tidak selesai sampai akhir zaman,” kata dia.
(Baca: Perkuat Eksistensi RI di Laut Natuna, Ini Saran Pakar Hukum)
Di tengah kondisi ini, Hikmahanto pun mengapresiasi sikap pemerintah yang konsisten menolak nine dash line milik Tiongkok. Jika sikap pemerintah melemah, Tiongkok akan kembali bermanuver. “Saya harap siapapun Menteri Luar Negeri kita, kita tetap tidak mengakui sembilan garis putus-putus Tiongkok,” ujarnya.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin memastikan pemerintah akan konsisten menolak nine dash line milik Tiongkok. Menurut Ngabalin, Indonesia tak akan bernegosiasi lagi dengan Negari Tirai Bambu terkait hak berdaulat tersebut. “Karena sudah ada di UNCLOS,” kata dia.