Hendra Susanto, Anggota Baru BPK yang Bukan Politisi
Mahkamah Agung (MA) resmi melantik lima anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2024. Mereka adalah Achsanul Qosasi, Daniel Lumban Tobing, Hendra Susanto, Harry Azhar Azis, dan Pius Lustrilanang.
Dari kelima anggota BPK tersebut, empat di antaranya memiliki latar belakang sebagai politisi. Hendra Susanto merupakan satu-satunya anggota BPK yang bukan politisi.
Ia adalah auditor yang sudah bekerja selama 20 tahun di BPK. Posisi terakhirnya di lembaga tersebut adalah sebagai Kepala Auditorat IB Direktur Auditorat Keuangan Negara I. Ia adalah anak buah dari Anggota BPK I Agung Firman Sampurna.
Pria kelahiran Lahat, 14 September 1972 ini lulus sebagai sarjana teknik sipil dari Universitas Sriwijaya, Palembang. Namun, ia justru bergelut dengan dunia baru sebagai auditor negara ketika diterima menjadi pegawai BPK.
Hendra memiliki dua gelar pascasarjana. Yang pertama adalah Master of Engineering in Integrated Urban Infrastructure dari Universitas Delft, Belanda yang diraihnya atas beasiswa dari UNESCO-IHE. Yang kedua, gelar Master Hukum Bisnis dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
Profesinya sebagai auditor negara dikukuhkan dengan sertifikasi sebagai auditor forensik. Hendra sebelumnya juga menjadi auditor investigatif senior di BPK. Saat ini Hendra adalah kandidat doktor di Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Padjajaran, Bandung. Ia melakukan kajian tentang Audit Investigasi dengan Dukungan Digital Forensic untuk disertasinya.
(Baca: Mayoritas Politisi, Ini Profil Anggota BPK 2019-2024 Pilihan DPR)
Usulkan Kemandirian Anggaran BPK
Hendra pernah mengikuti seleksi anggota BPK pada 2017. Pada saat itu ada dua posisi anggota BPK yang kosong. Namun, ia kalah bersaing dengan Agung Firman Sampurna dan Isma Yatun.
Agung sebelumnya menjabat sebagai anggota BPK periode 2012-2017. Sementara itu, Isma Yatun sebelum menjabat sebagai anggota BPK adalah anggota DPR pada Komisi X yang memiliki ruang lingkup di bidang pendidikan, olah raga, dan sejarah, serta Komisi XI yang membidangi perbankan dan keuangan.
Dalam seleksi calon anggota BPK di DPR, Hendra mengusulkan alokasi anggaran BPK dimasukkan dalam pasal tambahan di amendemen Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK RI. "Agar BPK mendapat alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhannya, katakan 0,5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ada sekarang," ujar Hendra di DPR, September lalu.
Jika APBN mencapai Rp 2.460 triliun, alokasi anggaran BPK sekitar Rp 12 triliun. Menurutnya, kemandirian anggaran tersebut akan membuat BPK memiliki ruang yang cukup dalam memeriksa keuangan negara yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan anggaran tersebut, BPK bisa memberikan apresiasi untuk auditor yang berprestasi sehingga kinerjanya meningkat.
(Baca: Achsanul Qosasi, Calon Anggota BPK yang Sukses Besarkan Madura United )
Modernisasi BPK
Hendra juga mengusulkan modernisasi BPK. Ada beberapa aspek dalam modernisasi BPK, antara lain pembangunan infrastruktur, integrasi data antarlembaga, integrasi data audit, digital forensik, iklim kerja yang produktif, dan peningkatan kesejahteraan pegawai BPK.
Usulan Hendra menuai pro dan kontra dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi XI DPR RI dari Partai Nasdem, Johnny G Plate, meminta modernisasi BPK tidak hanya fokus pada penggunaan teknologi. Ia menilai kualitas sumber daya manusia (SDM) di BPK perlu ditingkatkan.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Elviana menilai revolusi industri 4.0 memang harus diikuti dengan modernisasi BPK. Namun, ia berharap hal tersebut tidak berarti robot atau teknologi akan menggantikan peran para auditor.
(Baca: Harry Azhar Azis, Calon Anggota BPK yang Dibayangi Panama Papers)