Film Dokumenter Diary of Cattle Tayang Perdana di Swiss
Film dokumenter Diary of Cattle film karya David Darmadi dan Lidia Afrilita mendapat kesempatan untuk tayang perdana dalam festival film prestisius Visions du Reel di Swiss. Berdurasi 17 menit 31 detik, film ini menceritakan tentang kehidupan sapi yang tinggal di penampungan sampah di Padang, Sumatera Barat.
Lidia menyatakan, kumpulan sapi di tempat pembuangan sampah merupakan pemandangan yang jamak di Tanah Air. "Hal seperti ini tidak hanya terjadi di Padang. Isu lingkungan ini sangat penting, bukan hanya tingkat lokal tetapi juga jadi masalah nasional," kata Lidia di Jakarta, Selasa (16/4).
Film dokumenter Diary of Cattle memenangkan kompetisi If/Then dan mendapatkan dana hibah dari Tribeca Film Institute dalam program Docs By The Sea 2018. Selain itu, film ini juga mendapat tawaran distribusi dari Guardian serta penyangan pada Sheffield Documentary Film Festival.
(Baca: Film Susi Susanti, Bangunkan Memori Emas Pertama RI di Olimpiade)
Berangkat dari proyek Ingatan Visual di YouTube, Lidia dan David biasa mendokumentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat di Sumatera Barat. Namun, pemandangan aneh mereka dapatkan ketika ingin merekam aktivitas pemulung di tempat pembuangan sampah, ratusan sapi tinggal di sana.
Sapi-sapi itu makan, tidur, bermain, serta bereproduksi sembari menyelamatkan diri dari eskavator atau alat berat yang ada di sekitar area pembuangan sampah. Ironisnya, semua sapi itu akan berakhir sebagai makanan manusia.
Lidia menyatakan, pembuatan film dokumenter ini memerlukan observasi yang mendalam. Hasilnya, visual yang didapat begitu kuat sehingga penonton mampu membayangkan sapi yang harus makan sampah untuk bertahan hidup.
David menceritakan pengalaman saat tayang perdana dunia di Nyon, Swiss, 11 April 2019 lalu. "Penonton cukup kaget dengan isu lingkungan yang kami bawa, dua kali pemutaran cukup ramai apresiasinya," ujarnya.
(Baca: Gundala, Film Jagoan Karya Joko Anwar yang Tuai Pujian Sebelum Tayang)
Apalagi, Visions du Reel merupakan festival film yang mengandalkan gaya artistik dan isu yang kuat, bukan cerita umum sehari-hari seperti yang Diary of Cattle tawarkan. Sehingga, kedua sutradara sangat bersyukur pada capaian film berkat akses pasar program Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menjelaskan, sineas film Indonesia harus berani membuka mata investor melalui berbagai macam platform. Tidak hanya bioskop, saluran tayangan sangat beragam seperti YouTube, video streaming, sampai bioskop alternatif.
Fadjar mengaku setiap sineas harus menyiapkan langkah yang unik serta siap sedia dalam bertemu sumber pendanaan. "Pitching forum ide harus beragam, ketika sistem makin banyak tercapai, sumber permodalan bakal semakin mudah," katanya.