Skala Produksi, Tantangan Mycotech Bersaing dengan Produk Konvensional
PT Miko Bahtera Nusantara mengaku bahwa kapasitas produksi menjadi tantangan tersendiri untuk meningkatkan daya saing dengan produk konvensional lokal. Volume produksi yang relatif terbatas membuat pemilik jenama Mycotech ini sukar mematok harga yang kompetitif.
CTO dan Co-Founder PT Miko Bahtera Nusantara Arekha Bentangan mengatakan, volume produksi Mycotech belum semassal produk konvensional. Kapasitas produksi akan terus ditingkatkan agar dapat memberi harga yang kompetitif, khususnya untuk konsumen lokal.
"Kami belum bisa turunkan harga kami di bawah produk konvensional. Di dalam negeri banyak yang tertarik pakai produk kami tetapi kerap jadi masalah adalah harga. Jadi, sekitar lebih dari 50% produk kami itu diekspor," tuturnya kepada Katadata.co.id, Kamis (25/10).
(Baca juga: Paten HKI Memudahkan Mycotech Perluas Jaringan Bisnis)
Mycotech hadir dalam wujud aneka material berbahan baku jamur yang separuh permintaannnya berasal dari luar negeri. Produk yang kini dipasarkan terutama panel dengan fungsi dekoratif, material konstruksi spasial serupa pohon, serta produk fesyen ekslusif.
Arekha menjelaskan, sebetulnya inovasi teknologi yang dimiliki Mycotech bisa diaplikasikan menjadi berbagai macam material. Tapi mempertimbangkan potensi pasar maka timnya memutuskan, produk material bangunanlah yang pertama-tama dipasarkan.
Proses produksi Mycotech kini melibatkan para petani jamur di beberapa wilayah Provinsi Jawa Barat, khususnya Cimahi dan Cianjur. Misi lain startup ini ialah memberdayakan sumber daya manusia (SDM) yang terlibat terutama di hulu alias petani yang memproduksi jamur.
Jamur yang menjadi bahan baku Mycotech berasal dari divisio fungi basidiomycota. Perusahaan memastikan terus mengembangkan inovasi berbasis jamur lokal yang tidak beracun dan jarang dikonsumsi.