Kekalahan PDIP di Pilkada Dinilai Jadi Ancaman di Pemilu 2019
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan pemenang Pemilu 2014, menderita banyak kekalahan dalam pemilihan kepala daerah 2018 berdasarkan versi perhitungan cepat (quick count). PDIP hanya menang di enam provinsi atau memperoleh kemenangan 35% dari 17 provinsi yang mengadakan perhelatan pilgub 2018.
Enam provinsi yang berhasil dimenangi PDIP yakni Bali, Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Sulawesi Selatan. Di enam provinsi tersebut terdapat empat kader PDIP yang menjadi gubernur dan tiga kader jadi wakil gubernur.
Untuk wilayah kabupaten/kota, kemanangan PDIP lebih banyak dengan menang di 91 daerah atau 60% dari 152 kabupaten/kota yang diikutinya. Dari 91 daerah yang menang, kader yang menjadi kepala daerah 33 dan wakil kepala 38.
(Baca juga: Hasil Hitung Cepat, Lumbung Suara di Jawa Diamankan Pendukung Jokowi)
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, mengatakan gagalnya PDIP merebut kemenangan dalam Pilkada 2018 dapat menjadi ancaman saat pemilihan perwakilan partai politik (legislatif) di 2019.
Indra mengatakan, perolehan dalam pilkada mencerminkan setidaknya preferensi masyarakat dalam Pemilu 2019. “Hanya tersisa waktu kurang dari satu tahun, akan sulit melakukan konsolidasi,” kata Indra kepada Katadata.co.id dihubungi Kamis (28/6).
Indra mengatakan terdapat dua hal utama yang menyebabkan PDIP gagal dalam pemilihan gubernur, terutama dalam merebut kemenangan di empat provinsi yang menjadi lumbung suara, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara.
(Baca juga: Survei: PDIP, Golkar dan Gerindra Akan Bersaing Ketat di Pileg 2019)
Pertama, PDIP kesulitan memiliki kader yang berkualitas sebagai calon pimpinan daerah. Selain itu, PDIP tidak cermat menunjuk kandidat tanpa melihat preferensi dari daerah pemilihan.
Indria menyebut, PDIP melakukan kesalahan saat mengajukan TB Hasanuddin sebagai calon gubernur Jawa Barat berpasangan dengan Anton Charliyan, Puti Guruh Soekarnoputri sebagai calon wakil gubernur Jawa Timur mendampingi Syaifullah Yusuf (Gus Ipul).
Di samping itu, PDIP juga terlalu gegabah menempatkan mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat sebaga calon Gubernur Sumatera Utara.
“Hal ini menunjukkan PDIP kesulitan mencari calon yang terbaik. Mereka tak punya cukup kader,” kata Indria.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan, mengatakan kelemahan calon PDIP sangat terlihat dalam Pilgub Jawa Timur. PDIP tak mampu mempertahankan basis Mataraman yang selama ini menjadi daerah kekuasaan banteng moncong putih.
“Harusnya Mataraman itu daerahnya PDIP, jadi seharusnya Puti Guntur mampu menjadikannya sebagai lumbung suara. Tapi karena ada faktor Demokrat cenderung suara untuk Emil Dardak,” kata Djayadi.
Kedua, PDIP dianggap terlalu percaya diri sehingga tidak berhati-hati dalam menunjukkan sikap politik. Di media sosial sempat viral pernyataan yang menyebutkan PDIP bukan untuk pemilih Islam.
“Itu menyinggung perasaan umat beragama, menunjukkan partai arogan dan terlalu percaya diri. Kesan itu yang diterima masyarakat,” kata Indria.
Indria membandingkan dengan Golkar yang lebih berhati-hati dan realistis dalam membuat keputusan politik. Sehingga Golkar berhasil meraih kemenangan pilgub yang lebih besar.
“Golkar sadar kekuatannya sehingga memilih kerja sama dengan partai lain untuk mengusung calon yang berkualitas dan diterima masyarakat,” kata Indria.