Partai Pendukung Jokowi Kesulitan Cari Cawapres seperti Jusuf Kalla
Partai pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga kini belum menentukan calon wakil presiden yang akan maju dalam pemilihan presiden 2019. Koalisi memandang hingga kini Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) merupakan sosok yang tepat dan ideal untuk kembali bertarung dalam Pilpres 2019 sebagai petahana.
Selain berpengalaman, JK juga dianggap dapat melengkapi Jokowi dalam isu ekonomi atau pun penerimaan dari kelompok agama.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ahmad Basarah menilai JK memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni sebagai cawapres. Hal ini telah teruji mengingat politisi Golkar tersebut sudah dua kali terpilih sebagai wapres.
“Pak JK sebagai wapres Pak Jokowi di pilpres 2019 adalah sosok atau figur yang ideal,” kata Basarah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (26/4).
(Baca juga: Mengukur Peluang Kalla Jadi Cawapres di Pemilu 2019)
Hal senada disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Sarmuji. Menurutnya, kemampuan JK sudah terbukti, terutama di mata Jokowi. Sehingga Jokowi dalam wawancara di program Mata Najwa menyebut Kalla merupakan pilihan cawapres yang terbaik bagi dirinya.
“Ya Pak JK memang kinerjanya bagus,” kata Sarmuji.
Kendati demikian, Sarmuji menilai JK saat ini terbentur aturan karena telah dua kali menjabat sebagai wapres. Jabatan kali pertama diembannya ketika mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2009. Lalu JK kembali menjabat sebagai Wapres untuk periode 2014-2019 bersama Jokowi.
Basarah pun menyatakan peluang JK sulit untuk bisa kembali mencalonkan diri. Basarah menilai kendala tersebut akibat masih banyaknya tafsir atas Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya dua periode.
(Baca juga: PDIP Prioritaskan Puan, Kompetisi Bursa Cawapres Jokowi Makin Ketat)
Menurut Basarah, saat ini ada pakar hukum tata negara yang menyebutkan jika pasal tersebut hanya diperuntukkan bagi masa jabatan secara berturut-turut. Namun ada pula tafsiran batasan masa jabatan berlaku pula untuk yang berselang.
“Ini saya kira Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang konstitusional untuk keluarkan fatwa,” kata Basarah.
Jusuf Kalla sendiri telah menyatakan keengganannya diusung kembali menjadi cawapres. Dia tidak ingin mengulang kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru yang tanpa batas. "Pada saat itu, Pak Harto tanpa batas, jadi menghargai filosofi (dalam aturan) itu," kata Kalla beberapa waktu lalu.
Saat ini partai koalisi pendukung Jokowi masih mencari cawapres yang tepat. Namun, terdapat kecenderungan tiap parpol memprioritaskan pimpinan partainya masing-masing dalam pembahasan cawapres pendamping Jokowi.
PDIP memprioritaskan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, sementara Golkar mengusung Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Selain itu, Partai Kebangkitan Bangsa mensyaratkan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai cawapres dalam mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Belakangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai menggadang ketua umumnya Romahurmuziy.
(Baca juga: PKB Resmi Dukung Jokowi di Pilpres 2019, Ada Syarat dari Cak Imin)
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari sebelumnya menyatakan perebutan posisi cawapres berpotensi memecah koalisi Jokowi. Dia menyarankan Jokowi memilih cawapres dari kalangan non-partai.
Menurut Qodari, situasi Jokowi saat ini mirip ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan maju kembali dalam Pilpres 2009. Ketika itu, lanjut Qodari, SBY akhirnya memutuskan memilih mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono sebagai cawapresnya.
"Kalau dipilih salah satu (tokoh partai), yang lain marah dengan risiko membubarkan koalisi. Maka diambil non-partai sama sekali di mana dalam arti semua tak dapat sekalian," kata Qodari.
Qodari menilai calon yang tepat bagi Jokowi harus diambil berdasarkan kelemahannya saat ini, yaitu isu ekonomi dan agama. Menurut Qodari, dengan begitu Jokowi mampu untuk mengatasi kedua isu yang mudah dipolitisasi tersebut.
Jokowi juga harus dapat memilih sosok cawapres non-partai yang diterima semua golongan. Dengan begitu, keberatan dari koalisi partai pendukungnya pun akan semakin minim.
"Kuncinya ada di Jokowi, makanya dia akan mengambil calon yang resistensinya yang paling rendah," kata dia.
(Baca juga: Bertemu Dua Kali dengan Jokowi, PKS Klaim Tolak Tawaran Koalisi)