Niat Polri Gandeng BPK & Kejaksaan di Densus Tipikor Menuai Penolakan
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan telah menyiapkan dua alternatif metode kerja Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang diusulkannya. Salah satunya mengajak Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bekerja satu atap di Densus Tipikor bersama Polri.
"Kalau satu atap itu pimpinan Pati bintang dua Polri, satu Kejaksaan Agung, satu BPK," kata Tito di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Senin (16/10). (Baca: Lembaga Mirip KPK, Densus Tipikor Butuh Anggaran Rp 2,6 Triliun)
Pembentukan lembaga satu atap ini mirip dengan sistem penanganan perkara satu atap seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tito menuturkan, nantinya sistem kepemimpinan dalam Densus Tipikor bersifat kolektif-kolegial. Dia mengatakan, pimpinan Densus Tipikor akan sulit diintervensi, namun Kejaksaan tetap bisa melakukan kewenangannya.
Opsi kedua yang dapat dilakukan untuk metode kerja Densus Tipikor dengan membentuk kemitraan, seperti halnya Densus 88 Anti-teror yang berkoordinasi dengan Satgasus Penuntutan Terorisme di Kejaksaan Agung.
Nantinya Densus Tipikor dapat berkoordinasi dengan Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus P3TPK) dalam menangani perkara korupsi. "Tujuannya cuma satu agar tidak terjadi bolak-balik perkara," kata Tito.
(Baca: Mabes Polri Akan Dalami Kasus Suap Uber Terhadap Aparat Polisi)
Tito menyebut pihaknya membutuhkan anggaran senilai Rp 2,6 triliun untuk membentuk Densus Tipikor. Tito mengatakan anggaran tersebut terdiri dari anggaran belanja pegawai, barang, dan modal. Densus Tipikor yang akan terdiri dari 3560 orang membutuhkan belanja pegawai sebesar Rp 786 miliar.
Sementara, untuk belanja barang terdiri dari operasional Densus Tipikor Polri, baik dalam proses penyelidikan dan penyidikan diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar Rp 359 miliar.
Selain itu, Densus Tipikor juga membutuhkan anggaran sebesar Rp 1,55 triliun untuk belanja modal, termasuk untuk pembentukan sistem dan kantor, pengadaan alat-alat untuk lidik, surveillance, penyidikan dan lain-lain.
Tito mengatakan, usulan pembentukan Densus Tipikor bukanlah untuk menegasikan KPK maupun Kejaksaan Agung dalam upaya pemberantasan korupsi. Justru, pembentukan Densus Tipikor diklaim untuk membagi tugas pemberantasan korupsi yang saat ini dilakukan KPK.
"Dengan rekan Kejaksaan tidak menegasikan kewenangan karena Kejaksaan tetap dapat melakukan penyidikan dan penuntutan di luar tim yang kita harapkan dapat dimitrakan dengan Densus Anti-korupsi," kata Tito.
Jaksa Agung M Prasetyo beranggapan bahwa saat ini pihaknya masih belum perlu bergabung dalam Densus Tipikor. Pasalnya, saat ini Kejaksaan Agung pun telah memiliki Satgassus P3TPK yang juga bertugas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Rasanya tidak perlu, untuk sementara saya katakan itu. Karena masing-masing kan punya independensi dan pada alur penyelesaian suatu perkara," kata Prasetyo.
Prasetyo pun menilai tidak masalah jika penyelesaian berkas perkara terjadi berulang kali. Dia mengatakan, proses tersebut menandakan bahwa jaksa penuntut umum (JPU) dalam suatu perkara melakukan penelaahan berkas dengan baik.
"Kalau berkas belum lengkap baik dari aspek formil dan materil perkara dan kelengkapannya tentunya harus diperbaiki dan dikembalikan," kata Prasetyo.
Kendati demikian, Prasetyo tak mempermasalahkan usulan pembentukan Densus Tipikor. Dia mengatakan, Densus Tipikor dapat meningkatkan intensitas pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Hal senada disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo. Menurut Agus, usulan pembentukan Densus Tipikor baik untuk bisa memperkuat proses penanganan perkara korupsi di Indonesia. "Semakin banyak yang menangani kan makin bagus," kata Agus.
Agus mengatakan kewenangan Densus Tipikor tak akan tumpang tindih dengan KPK. Bisa saja, lanjut Agus, nantinya kewenangan keduanya dibagi menurut kerugian negara dalam kasus korupsi yang ditangani. "Bisa saja begitu," kata Agus.