BPK Temukan Masalah Uang Negara Rp 27,39 Triliun di Semester I-2017
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan 14.997 permasalahan senilai Rp 27,39 triliun dalam pemeriksaan selama semester I/2017. Permasalahan tersebut meliputi 7284 kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), 7549 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp 25,14 triliun, serta 164 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 2,25 triliun.
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, permasalahan ketidakpatuhan mengakibatkan kerugian senilai Rp 1,81 triliun, potensi kerugian senilai Rp 4,89 triliun, serta kekurangan penerimaan senilai Rp 18,44 triliun.
"Pada saat pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara atau daerah Rp 509,61 miliar," kata Moerhamadi Soerja Djanegara saat penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2017 kepada DPR di Jakarta, Selasa (3/10).
IHPS I/2017 merupakan ringkasan dari 687 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 645 LHP keuangan, 9 LHP kinerja, dan 33 LHP dengan tujuan tertentu. Moerhamadi mengatakan, sebanyak 74 Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) memperoleh opini WTP sebanyak 84%. Adapun, 8 LKKL (9%) memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 6 LKKL (7%) memperoleh Opini Tidak Menyatakan Pendapat.
"Opini WTP LKKL telah mengalami peningkatan sebesar 19 persen dari tahun 2015 yang hanya 56 LKKL atau 65% menjadi 74 LKKL atau 84% pada tahun 2016," kata Moerhamadi. (Baca juga: Sri Mulyani Minta BPK Jaga Kredibilitas Opini Wajar Laporan Keuangan)
Terkait Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), sebanyak 91% pemerintah provinsi, 66% pemerintah kabupaten, dan 77% pemerintah kota di Indonesia mendapat opini WTP. Angka tersebut melampaui target kinerja keuangan daerah bidang penguatan tata kelola pemerintah daerah atau program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019.
Moerhamadi menuturkan, target pemerintah provinsi sebesar 85%, pemerintah kabupaten sebesar 60%, dan pemerintah kota sebesar 65% dalam RPJMN.
Moerhamadi mengatakan, capaian opini ini mulai mendekati target Sasaran Pokok Pembangunan Tata Kelola dan Reformasi Birokrasi sampai dengan tahun 2019 sebesar 95%.
"Indeks opini atas capaian tingkat perolehan opini WTP pada pemeriksaan tahun 2017 adalah 3,70. Ini masih di bawah target bidang Reformasi Keuangan Negara yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 3,88," kata Moermahadi.
Sementara itu, hasil pemeriksaan kinerja oleh BPK yang signifikan, antara lain pemeriksaan atas kegiatan niaga dan transportasi gas, pemasaran luar negeri dan pemeliharaan pesawat, dan pengelolaan KPR Sejahtera dan subsidi selisih angsuran atau subsidi selisih bunga.
Sedangkan, hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang perlu diperhatikan adalah perhitungan bagi hasil migas. BPK masih menemukan biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery untuk bagi hasil migas tahun 2015 sebesar US$ 956,04 juta atau setara Rp12,73 triliun.
"Selain itu BPK juga masih menemukan 17 Kontraktor Kerja Sama ataupun pemegang working interest yang belum menyelesaikan kewajiban perpajakan sampai tahun 2015 sebesar US$ 209,25 juta atau setara Rp 2,78 triliun," kata dia.
BPK telah memantau 463.715 rekomendasi hasil pemeriksaan senilai Rp 285,23 triliun. Dari jumlah tersebut yang telah sesuai dengan rekomendasi adalah 320.136 rekomendasi (69,0%) atau senilai Rp132,16 triliun.
Moerhamadi mengatakan, Dari seluruh entitas yang diperiksa BPK selama semester 1 Tahun 2017, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Arsip Nasional RI (ANRI) telah menindaklanjuti seluruh rekomendasi. Mereka mendapatkan status telah sesuai dengan rekomendasi pada periode yang sama.
"Efektivitas hasil pemeriksaan BPK akan tercapai jika laporan hasil pemeriksaannya ditindaklanjuti oleh entitas yang diperiksa. BPK berharap IHPS I/2017 dapat menjadi acuan perbaikan pengelolaan keuangan negara pada semester berikutnya,"kata Moerhamadi.