Acho dan Nasib Para Konsumen yang Terjerat Pasal Pencemaran Nama Baik
Komika Muhadkly MT alias Acho menghadapi gugatan hukum atas keluhan yang disampaikan di blog pribadinya muhadkly.com. Artikel berjudul "Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya" yang diunggahnya pada 8 Maret 2015, menjadi sumber perkara yang kini dihadapinya.
Dalam tulisan tersebut, Acho mengeluhkan berbagai fasilitas dan pengelolaan di tempat tinggalnya apartemen Green Pramuka City, Jakarta. Dia mengemukakan masalah mulai dari tempat parkir, peruntukan lahan hijau, Sertifikat Hak Milik (SHM), Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL), hingga pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Acho juga menagih janji pengelola yang tak merealisasikan area apartemen sebagai ruang terbuka hijau. "Tulisan ini hanya bermaksud menceritakan pengalaman saya tinggal di apartemen Green Pramuka City, tanpa bermaksud ingin menghina atau menuduh pihak manapun. Semua yang saya sampaikan di sini adalah fakta dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan," tulis Acho di paragraf awal artikelnya.
Pihak pengelola Green Pramuka, PT Duta Paramindo Sejahtera merasa dirugikan atas tulisan tersebut. Melalui kuasa hukumnya, Danang Surya Winata, mereka melaporkan Acho ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada 5 November 2015. Acho dilaporkan dengan dugaan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Pasal 310-311 KUHPidana tentang pencemaran nama baik.
(Baca: Tak Ditahan, Acho Klaim Kritik ke Apartemen Green Pramuka Sesuai Fakta)
Dua tahun kemudian, pada 9 Juni 2017, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menetapkan Acho sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik. Senin (7/8) kemarin perkara ini telah dilimpahkan ke kejaksaan.
Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto menilai penggunaan pasal pencemaran nama baik tidak tepat. Sebab, Acho justru membuka kebenaran kepada publik melalui tulisannya, bukan mencemarkan nama baik.
"Pasal pencemaran nama baik tidak bisa dituntut pada orang yang sedang membuka kebenaran untuk kepentingan publik," kata Damar, Senin (7/8).
Damar pun menuding, pelaporan oleh pengelola apartemen Green Pramuka terhadap Acho tidak semata kasus hukum. Damar menduga pelaporan itu ditujukan sebagai terapi kejut bagi penghuni lain sehingga enggan mengkritik aturan yang diterbitkan pihak pengelola.
"Apa yang terjadi pada Acho bisa terjadi pada orang lain yang mengeluhkan apa yang dialami," kata Damar. (Baca: Apartemen Green Pramuka City Merasa Berhak Pidanakan Acho)
Damar menyebutkan, kasus hukum yang menjerat Acho semakin membuktikan bahwa UU ITE kerap digunakan mengkriminalisasi konsumen. Berdasarkan data SAFEnet, sejak tahun 2009 sudah ada tujuh konsumen yang dijerat UU ITE hanya karena mengkritik atau mengeluhkan layanan usaha.
Kisah Acho seperti mengulangi pengalaman Prita Mulyasari saat menjalani perawatan di unit gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera pada 7 Agustus 2008. Prita yang merasa tidak puas dengan pelayanan menuliskan surat elektronik dan menyebar secara berantai melalui milis.
RS OMNI kemudian menggugat Prita secara perdata dan pidana karena dianggap telah mencemarkan nama baik rumah sakit. Dalam perkara pidana, Prita lolos di Pengadilan Negeri Tangerang pada 2009, tapi kemudian di tingkat kasasi divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun. Pada 2012, hakim di tingkat peninjauan kembali membebaskan Prita.
Untuk perkara perdata, PN Tangerang memvonis Prita membayar ganti rugi materiil Rp 161 juta dan kerugian immateriil Rp 100 juta. Di tingkat kasasi, hakim membebaskan Prita dari seluruh hukuman ganti rugi.
(Baca: YLKI: Acho Korban Kriminalisasi Pengembang Green Pramuka)
Ada pula kasus yang menimpa Fathurrahman (27), warga Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta. Fathur dilaporkan ke polisi setelah ia menceritakan pengalamannya di dinding Facebook setelah kucingnya, Boy mati setelah berobat di klinik Naroopet.
Fathur menulis bahwa dia menduga terjadi malpraktik yang dilakukan Naroopet dan menuding orang yang menangani kucingnya bukan dokter atau paramedis tenaga kesehatan.
Pemilik klinik Naroopet Sri Dewi Syamsuri tidak terima dengan pernyataan Fathur. Dia lalu melaporkan Fathur ke Polda DIY dengan sangkaan Pasal 45 juncto Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai pencemaran nama baik. Hingga saat ini, kasus Fathur masih ditangani penegak hukum.
Sebelum terbitnya UU ITE, Khoe Seng Seng, pemilik ruko ITC Mangga Dua mengalami proses hukum yang panjang setelah melemparkan kritikan kepada pihak pengelola PT Duta Pertiwi.
Seng Seng menuliskan keluhannya pada surat pembaca dua media masa, yakni Suara Pembaruan dan Kompas pada 2006. Kemudian, pada 24 November 2006 perusahaan milik Sinar Mas Group itu melaporkan Khoe ke Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik.
(Baca: MA Kabulkan PK Khoe Seng Seng)
Seng Seng dijerat secara perdata dan pidana sekaligus. Gugatan pidana pada PN Jakarta Timur memutuskan Seng Seng bersalah dan dihukum enam bulan kurungan dengan percobaan satu tahun. Namun dalam putusan banding dia dianggap tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman.
Di kasus perdata, Seng Seng juga dianggap bersalah sehingga mesti membayar denda Rp 1 milyar. Kasus sempat bergulir ke MA yang memutuskan dia mesti membayar denda Rp 1 miliar. Barulah pada 2014, hakim di tingkat PK mengabulkan permohonan Seng Seng dan menganulir keputusan denda Rp 1 miliar.
Dengan berbagai kasus tersebut, Damar menyebut pasal pencemaran nama baik merupakan pasal karet yang seharusnya dihilangkan karena berpotensi disalahgunakan dan merugikan publik.
Damar menambahkan, jika pasal-pasal karet tersebut tak segera dikaji, ia memprediksi di masa mendatang akan lebih banyak kasus serupa. Apalagi saat ini merupakan lumrah memberikan peninjauan atau review terhadap hasil layanan.
"Jangan sampai ketika zamannya sudah menuntut transparansi terhadap layanan, kemudian ketika menyampaikan keluhan karena layanannya buruk, malah konsumen dituntut balik," kata Damar.
(Baca juga: Kisruh Apartemen Berlanjut)