Tertinggi Tahun Ini, Harga Minyak Amerika di Atas US$ 40
KATADATA - Setelah terpuruk ke level terendah pada Februari lalu, harga minyak mentah terus merambat naik. Langkah negara-negara produsen minyak dunia mengerem produksinya dan pelemahan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) menjadi faktor pendukung kenaikan harga minyak. Namun, kondisinya masih rentan karena para produsen bisa tergoda menggenjot produksinya sementara pasokan minyak masih berlebih.
Pada Jumat (18/3), pukul 06.53 GMT, harga kontrak minyak mentah AS jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak berjangka satu bulan mencapai US$ 40,23 per barel atau naik tiga sen dari hari sebelumnya. Sedangkan pada Kamis, harga minyak AS naik 4,5 persen menjadi US$ 40,20 per barel, yang merupakan harga penutupan tertinggi sejak 3 Desember tahun lalu.
Sementara itu, harga minyak mentah jenis Brent naik 2 sen menjadi US$ 41,56 per barel. Bahkan, dalam perdagangan harian, harganya sempat menyentuh level US$ 41,71 per barel. Level harga saat ini sudah melambung 53 persen dari titik terendah harga minyak dalam 13 tahun terakhir, yaitu sebesar US$ 26,21 per barel pada 11 Februari. Namun, sejak itulah harga minyak terus naik hingga di atas US$ 40 per barel.
Kenaikan harga minyak Amerika Serikat hampir berlangsung selama lima pekan terakhir. Sementara itu, harga minyak jenis Brent sudah naik selama empat pekan. Perjalanan kenaikan harga ini menjadi yang terpanjang dalam satu tahun, baik untuk minyak Amerika Serikat maupun minyak mentah jenis Brent. “Pasar berusaha menetapkan harga sesuai pergerakan produsen-produsen besar,” kata Senior Manajer Komoditas di Phillip Futures, Singapura, seperti dikutip Reuters, Jumat (18/3). “Jika tidak, sebenarnya harga US$ 40 masih cukup mahal, mengingat adanya kelebihan pasokan minyak di pasar.”
(Baca: Pasokan Berkurang, Harga Minyak Dunia Menuju US$ 40)
Pemicu tren kenaikan harga minyak sejak organisasi negara-negara produsen minyak dunia atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) mencetuskan rencana untuk membekukan produksi minyak. Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak non-OPEC yang dipimpin Rusia akan menggelar pertemuan pada 17 April mendatang di Qatar, Doha. Mereka akan membicarakan kesepakatan pembekuan produksi minyak, sebuah langkah yang pertama kali akan dilakukan dalam 15 tahun terakhir.
"Pertemuan itu yang mengkaji kemungkinan mengendalikan pasokan minyak telah mengerem tren penurunan harga minyak," kata Pete Donovan, broker Liquidity Energy di New York. Analis melihat rendahnya harga minyak saat ini telah memaksa para produsen untuk mengurangi produksinya di tengah kelebihan pasokan minyak global dalam dua tahun terakhir.
(Baca: Harga Minyak Rendah Dinilai Berefek Positif Bagi Ekonomi Indonesia)
Bangkitnya harga minyak juga ditopang oleh melemahnya dolar AS. Pangkal soalnya adalah keputusan bank sentral AS mempertahankan suku bunga pada rapat Federal Reserve, Rabu malam lalu (16/3). Hal ini juga mengindikasikan suku bunga AS kemungkinan hanya naik dua kali pada tahun ini, lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya yang sebanyak empat kali. Alhasil, para investor membeli minyak dalam mata uang euro sehingga memicu kenaikan harganya.
(Baca: Banjir Pasokan, Harga Minyak Bisa Terus Turun Hingga Akhir Tahun)
Namun, penguatan harga ini harus disikapi dengan hati-hati. Pembicaraan antara negara-negara penghasil minyak hanya berujung pada penghentian produksi, bukannya pengurangan, dengan tujuan untuk menyeimbangkan pasar. Padahal, pasokan minyak masih berlimpah sehingga harga minyak sulit naik dalam jangka panjang. Analis memperkirakan surplus minyak di seluruh dunia terus meningkat dari 1 juta menjadi 2 juta barel per hari. Sedangkan jumlah produksi dan ekspor minyak Arab Saudi pada Februari lalu lebih banyak dibandingkan bulan sebelumnya.
Pemulihan harga minyak juga melahirkan sebuah paradoks: harga minyak yang lebih tinggi dapat mendorong produsen untuk meningkatkan produksi. Langkah tersebut akan semakin meningkatkan kelebihan pasokan minyak dunia. "Saya pikir reli harga minyak ini hanya sesaat," kata John Brynjolfsson, Co-Manager James Alpha Global Enhanced Real Return, seperti dikutip wsj.com.