Menkeu Persoalkan Penggunaan Trader Dalam Pembelian Minyak
KATADATA - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan belum bisa memutuskan apakah pihaknya akan menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) dari setiap transaksi minyak mentah melalui pelaku usaha distribusi (trader). Jika tidak ingin dipungut pajak, pembelian minyak bisa dilakukan langsung kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Dia memahami kebijakan yang digagas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memaksimalkan penggunaan minyak produksi dalam negeri untuk memasok kilang PT Pertamina (Persero). Kebijakan ini bisa berdampak pada pengurangan ekspor dan impor minyak.
Masalahnya, Pertamina tidak bisa membeli minyak tersebut kepada KKKS. Pertamina harus membeli minyak tersebut melalui trader. Meski trader tersebut masih terafiliasi dengan kontraktor. Jika perusahaan trader-nya berada di luar negeri, kontraktor harus mengekspor minyak tersebut terlebih dahulu. Kemudian Pertamina mengimpor kembali minyak ini dari perusahaan trader tersebut.
“Yang aneh, dia (KKKS) perlu pakai trader. Kirim ke luar negeri dulu, terus kita impor lagi,” kata dia ketika mengadakan konferensi pers di Kantor Pajak, Jakarta, Senin (11/1). (Baca : Masalah Pajak, Pertamina Belum Bisa Beli Minyak dari KKKS)
Menurut Bambang minyak mentah yang dihasilkan di dalam negeri juga tidak cocok digunakan untuk kilang dalam negeri. Kilang di Indonesia hanya bisa mengolah minyak jenis heavy dan sour. Jenis minyak mentah ini biasanya berasal dari Timur Tengah.
Sementara minyak mentah yang diproduksi dalam negeri adalah jenis sweet dan light. Kualitas minyak yang dihasilkan dalam negeri ini lebih baik dan harganya pun lebih mahal dibandingkan minyak jenis heavy dan sour. Artinya, jika minyak yang dihasilkan dalam negeri diekspor dengan harga mahal, dan mengimpor dengan murah, ada kelebihan keuntungan yang bisa didapat.
Dengan pertimbangan itu, dia meminta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas benar-benar menghitung kebijakan tersebut. Dia juga akan berbicara dengan Kepala SKK Migas untuk menentukan mana yang lebih efisien antara menggunakan minyak mentah dalam negeri atau minyak mentah dari luar negeri untuk diolah kilang di dalam negeri.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi sebelumnya meminta Menteri Keuangan menghapus pajak penjualan minyak yang dilakukan oleh trader. Dia menganggap pajak tersebut dapat menghambat upaya Kementerian ESDM untuk mengoptimalisasi minyak dalam negeri untuk pemenuhan kilang dalam negeri. (Baca : Beli Minyak Chevron dan ExxonMobil, Pertamina Minta Bebas Pajak)
Saat ini sudah ada dua kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang menggunakan trader dalam menjual produksi minyak dalam negeri, yakni ExxonMobil dan Chevron. Amien mengatakan, menurut aturan perusahaan ExxonMobil dan Chevron yang ada di Indonesia memang hanya berfungsi untuk memproduksi minyak, bukan untuk melakukan jual beli. Jika ingin membeli minyak dari kedua kontraktor tersebut harus melalui trader yang ada di Singapura.
Hal tersebut yang membuat Pertamina tidak mau membeli dari ExxonMobil dan Chevron. Jika membeli dari trader akan ada biaya tambahan dari pajak pertambahan nilai sebesar tiga persen. Sehingga harga yang harus dibayar Pertamina menjadi lebih mahal. Padahal kedua kontraktor tersebut dapat memasok minyak sebesar 120.000 barel per hari (bph) atau sekitar 30 persen dari total minyak yang diekspor.
Kementerian ESDM mencatat sampai saat ini minyak mentah dan kondensat yang diekspor mencapai 400.000 bph. Dari angka tersebut, menurut Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja setengahnya bisa diolah dalam negeri. Dengan kebijakan tersebut, Pertamina dan negara bisa menghemat hingga US$ 3,8 miliar per tahun, atau hampir Rp 45 triliun per tahun dengan kurs sekarang. (Baca : Ekspor Minyak Akan Dibatasi Tahun Depan)