Gubernur BI Peringatkan Dampak Kejatuhan Harga Minyak
KATADATA - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo meminta seluruh pihak mewaspadai harga minyak mentah dunia yang turun saat ini. Kejatuhan nilai emas hitam itu akan berdampak buruk bagi banyak negara, termasuk efek langsung bagi Indonesia.
Menurut Agus, terjerembabnya harga minyak, hingga di bawah US$ 40 per barel, akan membuat harga komoditas asal Indonesia tertekan. “Perlu kita waspadai,” kata Agus saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin, 4 Januari 2015. “Harga minyak rendah membuat harga komoditi turun.” (Baca: Harga Minyak Anjlok, Pemerintah Siapkan Insentif untuk Hulu Migas).
Agus mengatakan, turunnya harga minyak akan menjadi salah satu tantangan global tahun ini. Masalah lain yang menghadang ialah kenaikan tingkat suku bunga bank sentral Amerika Serika. Imbas kenaikan Fed Rate ini akan terasa bagi negara berkembang. Namun, keputusan The Fed menaikkan suku bunganya secara bertahap juga membuat tingkat ekspektasi pasar relatif terjaga.
“Itu sudah diperhitungkan. Kita tahu bahwa itu akan gradual, jadi musti lebih hati-hati,” ujar Agus. Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang, dia melanjutkan, kepastian inilah yang ditunggu-tunggu selama sembilan tahun terakhir. “Sekarang yang perlu kita waspadai adalah harga minyak yang terus turun.”
Namun demikian, Agus meminta semua pihak membangun optimisme di tengah kondisi rupiah yang masih melemah terhadap dolar Amerika. Dia menggolongkan tahun ini masih dalam periode super dolar yang akan berpengaruh terhadap nilai impor dan ekspor. (Baca juga: Penurunan Harga Minyak Hambat Kebijakan Biodiesel).
Efek dahsyat ambruknya harga minyak juga diungkapkan oleh Benny Lubiantara. Dewan Pakar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia ini mengatakan negara-negara yang tergabung dalam organisasi produsen minyak atau OPEC akan sangat menderita atas anjloknya minyak global. Sebagai contoh yaitu Venezuela, Nigeria, Aljazair, Ekuador, dan Libya. Negara OPEC dari Timur Tengah bahkan telah mengalami defisit anggaran. “Bedanya, mereka lebih bisa bertahan karena tabungannya (cadangan devisa) relatif besar,” kata Benny kepada Katadata dalam kolom opininya.
Secara umum, dia melanjutkan, harga minyak berpengaruh buruk bagi negara net-eksportir minyak. Sebaliknya, harga minyak rendah baik bagi negara net-importir, termasuk Indonesia. Namun Benny menekankan kesimpulan tersebut harus disikapi dengan hati-hati. (Baca: Harga Minyak Rendah Menguntungkan Negara Net-importir?).
Dalam jangka pendek, harga minyak rendah bisa saja baik bagi negara net-importir, namun dalam jangka panjang dapat berbalik mengancam. Harga yang rendah akan membuat kegiatan eksplorasi dan produksi berkurang sehingga produksi nasional cenderung turun dan tambahan cadangan minyak tidak ada. Pada saat yang sama, harga minyak rendah mendorong konsumsi membengkak dengan permintaan terus meningkat.
Karena itu, dalam jangka panjang kesenjangan antara pasokan/produksi dan permintaan/konsumsi semakin melebar. Ketika harga minyak meningkat, ketahanan energi nasional menjadi sangat rentan. “Mari kita berpikir jangka panjang, bagaimana agar investor tetap antusias melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi, pada saat yang sama mengurangi kosumsi minyak yang boros dan tidak efisien,” kata Benny.
Menurut dia, gonjang-ganjing harga minyak bukanlah hal baru. Hanya, kini banyak ulasan yang cenderung pesimistis akan pergerakan harga komoditas itu. Turunnya harga minyak, kata Benny, pada dasarnya ada dua penyebab, yaitu kelebihan pasokan atau menurunnya permintaan. Ketika terjadi krisis keuangan Asia tahun 1997-an, harga minyak turun. Tahun 2001 harga turun karena melemahnya pertumbuhan ekonomi. Tujuh tahun kemudian harga juga luruh akibat krisis finansial global.
Dari tiga kejadian tersebut, harga minyak turun dan pulih dalam waktu singkat. Situasi berbeda terjadi pada pertengahah 1980-an. Ketika itu harga minyak turun drastis disebabkan oleh kelebihan pasokan minyak global karena ada produsen minyak baru. Namun kejatuhan harga minyak ini kemudian berlangsung lama. “Pengalaman historis menunjukkan harga minyak yang turun akibat kondisi ekonomi akan berlangsung relatif singkat. Sebaliknya, ketika isunya kelebihan pasokan maka akan berlangsung lebih lama. Situasi sekarang mirip dengan pertengahan tahun 1980-an,” kata Benny.