Menteri Rini Serahkan Pencopotan Lino ke Komisaris Pelindo II
KATADATA - Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno belum bisa memastikan status Richard Joost Lino sebagai Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero). Dia masih menunggu keputusan dari dewan komisaris perusahaan pengelola pelabuhan plat merah tersebut.
Hal ini menyusul ditetapkannya Lino sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lino diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan Quay Container Crane (QCC) pada 2010, yang mengakibatkan kerugian negara.
Penetapan tersangka, tidak secara otomatis membuat Lino dipecat dari jabatannya sebagai Dirut Pelindo II. Meski perusahaan negara, Pelindo II juga merupakan korporasi yang memiliki mekanisme hukum untuk memproses status direksinya. (Baca: Tujuh Pelanggaran R.J Lino Versi Rizal Ramli)
Menurutnya, lebih baik menunggu keputusan nasib Lino dari dewan komisaris terlebih dahulu, sebelum memutuskan apakah Lino harus diberhentikan atau tidak. "Kami sedang menunggu laporan dari Komisaris Pelindo II," kata Rini usai menghadiri acara peluncuran ATM Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) di Pasar Blok B Tanah Abang, Jakarta, Senin (21/12).
Mengenai hal ini, Rini membantah anggapan bahwa dirinya melindungi Lino dalam persoalan penegakkan hukum. Dia memastikan Kementerian BUMN akan mengikuti aturan hukum yang berlaku dalam kasus ini.
"Kita ikuti proses hukumnya dan tidak ada lindung-melindungi (Lino)," kata Rini. (Baca: Jusuf Kalla Terang-terangan Bela R.J. Lino)
Seperti diketahui KPK telah menetapkan Lino sebagai tersangka dalam pengadaan tiga unit QCC pada tahun 2010. Lino menunjuk langsung perusahaan asal Cina, Wuxi Huang Dong Heavy Machinery untuk memasok kebutuhan barang di Pelindo II tanpa melalui proses lelang.
Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati mengatakan pihaknya telah mendapatkan dua alat bukti yang cukup untuk menjerat Lino sebagai tersangka. Dengan dua alat bukti ini KPK meningkatkan status kasus Lino dari penyelidikan ke penyidikan. (Baca: Setelah JICT, Pansus Minta BPK Audit Proyek Pelabuhan Kalibaru)
Lino disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman terhadap orang yang terbukti melaggar pasal itu adalah pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sayangnya hingga berita ini diturunkan, Lino tidak merespons ketika dikonfirmasi Katadata melalui sambungan telepon. Pesan pendek berupa Whatsapp dari Katadata pun hanya dibaca dan tidak dibalas. (Baca: Kisah di Balik Pencopotan Budi Waseso)