Program Masif untuk Si Miskin

Image title
Oleh
17 Juni 2013, 00:00
559.jpg
Arief Kamaludin |KATADATA
KATADATA | Dok. KATADATA

PNPM dirintis saat Indonesia bergelut dengan krisis ekonomi pada 1998. Negeri yang sempat dijuluki salah satu ?Macan Asia? baru ini ikut tersapu gelombang krisis yang menjalar dari Thailand setahun sebelumnya.

Rupiah ambruk. Kurs yang semula di kisaran Rp 2.000 per dolar Amerika Serikat, dalam ?sekejap? meroket hingga di atas Rp 17 ribu per dolar. Inflasi pun melejit hingga 78 persen. Melambungnya harga barang-barang kebutuhan pokok amat mencekik rakyat.

Dampaknya, pertumbuhan ekonomi yang semula melaju kencang, anjlok ke titik nadir, bahkan mencapai minus 14 persen. Perusahaan-perusahaan terlilit utang raksasa ke bank dan kreditor asing, yang membuat gelombang pengangguran tak terhindarkan. Akibatnya, ledakan kemiskinan pun tak terelakkan, baik di perkotaan maupun perdesaan.  

Persentase rakyat miskin, yang di tahun-tahun sebelumnya sudah sempat berhasil ditekan di bawah 15 persen, kembali langsung melesat di atas 25 persen setelah badai krisis ekonomi melanda Tanah Air. Ini berarti terjadi kemunduran sekitar 15 tahun ke masa-masa awal 1980-an.

Di tengah situasi itulah, pemerintah dan Bank Dunia merancang sebuah program pembangunan untuk menanggulangi ledakan kemiskinan tersebut, yang kemudian dinamakan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Untuk tahap awal, melalui sebuah perjanjian yang dibuat pada akhir Agustus 1998, disediakan dana untuk program ini sebesar US$ 280 juta.

Dana pinjaman itu dikucurkan melalui Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) dan International Development Association (IDA), yang merupakan bagian dari Bank Dunia. Tahap I program ini berlangsung tiga tahun dari 1998 hingga akhir 2001.

Lalu dilanjutkan dengan PPK tahap II, yaitu mulai Januari 2002 hingga Desember 2005, dengan tambahan dana pinjaman dari Bank Dunia sebesar US$ 320,8 juta. Selain dari Bank Dunia, program ini sebagian kecil juga didanai oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Untuk memutus praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang mewabah di era pemerintahan Soeharto yang baru saja jatuh, pembiayaan program ini dirancang untuk bisa dinikmati langsung oleh masyarakat miskin di perdesaan. Bank Dunia tidak ingin seperti banyak pembangunan di masa sebelumnya, dana yang dikucurkan malah berhenti di kantong para penguasa atau elit daerah.

Maka dipilihkan kecamatan-kecamatan termiskin di Indonesia sebagai sasaran. Selain itu, program ini pun dirancang agar pelaksanaannya bersifat bottom-up, bukan lagi top-down seperti kerap dilakukan di era Orde Baru yang sangat sentralistik.

Dengan pola ini, warga desa diminta berembug untuk menentukan sendiri proyek apa ingin mereka kerjakan dengan dana bantuan dari Bank Dunia dan pemerintah. Jika usulan mereka lolos seleksi dan terpilih setelah bersaing dengan desa lain, warga desa itu pulalah yang harus terlibat dalam proyek pembangunan, hingga pengawasannya.

Dengan kata lain, tidak boleh proses pembangunan diserahkan langsung kepada kontraktor. Adanya keterlibatan warga sejak awal ini membuat mereka merasa lebih memiliki atas proyek yang dikerjakan. Pengawasan pun diharapkan menjadi lebih mudah, termasuk soal penyelewengan dana yang kerap terjadi.

Misalnya yang terjadi dengan camat di Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Camat itu akhirnya dipindah, karena diketahui telah melanggar ketentuan PPK dengan menyewa kontraktor untuk membangun jembatan. Celakanya, jembatan dibuat asal-asalan dan ambruk sebelum diresmikan. Catatan laporan PPK pada tahun kedua juga menyebut camat di Pulau Laut Timur, Kalimantan Selatan, bahkan dimutasi hanya karena mencuri dana operasional Rp 2,1 juta.

Terlepas dari berbagai kekurangan itu, seperti dinyatakan dalam laporan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang dilansir pada Juli 2002, sejumlah prasarana fisik telah berhasil dibangun dalam dua tahun keberadaan PPK: 7.000 jalan (10.800 km), 2.130 jembatan, 2.370 sarana air bersih dan sanitasi, serta 3.200 sarana irigasi.

Dengan adanya berbagai pembangunan itu, tercipta lapangan kerja baru, dan hampir 70 persen tenaga yang diserap berasal dari komunitas masyarakat miskin. Di tahun pertama, program digelar di 3.500 desa di 20 provinsi. Sedangkan di tahun kedua sudah lebih dari 11 ribu desa yang disertakan. Program ini terus tumbuh dari tahun ke tahun.

Itu sebabnya, ketika program ini hampir berakhir di masa putaran ketiganya, pada Mei 2006 Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang saat itu dijabat Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta memutuskan untuk memperpanjang program ini, bahkan akan diperluas ke seluruh desa dan kecamatan.

Halaman:
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...