Berduel dengan Maut

Image title
Oleh
23 Juli 2013, 00:00
1010.jpg
Arief Kamaludin | KATADATA
Recksan Salur (Dok. Pribadi)

Usahanya tak sia-sia. Awak kapal berhasil melihatnya. Mereka segera melempar pelampung dan menarik Recksan ke kapal. Saking gembiranya, ia lupa bahwa Karce masih di atas perahu. Barulah setelah ditanya anggota TNI, 20 menit berselang, apakah ia seorang diri, Recksan memberitahu keberadaan rekannya.

Karce akhirnya berhasil ditemukan dalam kondisi telanjang. Bajunya terkoyak. Badannya hitam dengan kulit mengelupas. Ia tak sadarkan diri dan mengalami koma. Lantas, mereka berdua dibawa ke Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Bitung, Sulawesi Utara.

Dokter mengatakan bahwa kesempatan hidup Karce hanya 30 persen akibat dehidrasi parah. Kalau pun hidup, maka organ-organnya tak akan bisa pulih seperti semula. Syukurlah kondisi Karce berangsur membaik, meski ia baru sadar setelah dua pekan. ?Puji Tuhan Karce sembuh, namun masih mengalami trauma hingga sekarang,? ujar Recksan.

* * *

Menjadi penggerak PNPM di daerah perbatasan atau ekstrem, seperti di Sangihe, bukan hal mudah. Transportasi ke ibu kota kabupaten, Tahuna, dengan kapal yang cukup besar hanya dua pekan sekali. Jika tidak terpaksa, mereka mengandalkan perahu kecil yang?mengikuti istilah Filipina?disebut pumpboat.

Telekomunikasi juga sangat buruk. Di pulau Matutuang, ponsel menjadi bisu. Komunikasi tercepat adalah surat. Itu pun dititipkan pada nelayan. Kehidupan sosial warga juga menjadi tantangan. Banyak warga tidak bisa berbahasa Indonesia dan semula tinggal di Filipina. ?Kami harus menghadapi masyarakat dengan pendidikan rendah, adaptasi bahasa, pindahan dari Filipina,? kata Recksan.

Recksan lahir 1986, berayah asal Sangihe, tapi ibunya berdarah campuran Indonesia dan Filipina, negeri yang hanya beberapa jam naik perahu dari Marore. Di negeri itu Recksan lahir dan menyelesaikan sekolah. Baru di bangku SMP, ia pindah ke Indonesia dan masuk sekolah di ibu kota kabupaten Sangihe, Tahuna.  

Ia masuk tanpa masalah meski berijazah Filipina. Sialnya, saat menjelang ujian kelulusan SMP, ijazah di Filipina dipersoalkan sehingga ia tidak diizinkan ikut ujian. Maka, ijazah SMP pun tidak ia dapatkan,  meski sudah tiga tahun bersekolah.

Saat PNPM masuk Matutuang pada 2009, Recksan tidak tahu ini program apa. Tapi, warga desa memilihnya, yang saat itu baru berusia 23 tahun, sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Sedang untuk kader perempuan, terpilih Karce.

Dengan usia semuda itu, Recksan belum memiliki pengalaman organisasi, terutama memimpin pertemuan. Di saat awal, ia merasa kesulitan. ?Namun, dengan keberanian, akhirnya mampu memimpin pertemuan-pertemuan di desa,? katanya.

Ia tetap bersemangat meski upahnya sebagai fasilitator sangat kecil. Pada dua tahun pertama, hanya Rp 100 ribu per bulan. Tahun lalu, naik menjadi Rp 200 ribu per bulan. ?Tetapi, tahun 2013 ini honornya tidak cair sejak enam bulan lalu,? katanya. ?Tahun ini saya belum menerima apa-apa.?

Dedikasi serupa ditunjukkan oleh Jeremia P. Antara, yang bertugas di Kecamatan Tabukan Tengah. Berkat ketekunannya, ia baru saja diganjar penghargaan sebagai pendamping lokal tingkat kecamatan terbaik se-Indonesia untuk wilayah ekstrem dan terpencil.  

Jeremia menjadi kader desa di Bowongkali enam tahun silam. Setahun kemudian, ia diangkat sebagai pendamping fasilitator kecamatan. Saat mulai bekerja, usianya baru 24 tahun. Hambatan awal terbesarnya bukan soal fasilitas dan sebagainya. Tapi, soal psikologis: berbicara di depan umum dan memimpin rapat. ?Sesuatu yang baru, karena dulu saya tak bisa berbicara di depan umum,? kata lulusan SMK Tahuna jurusan pembangunan ini.

Tugas di tingkat kecamatan membuatnya terus berkeliling dari desa yang satu ke desa yang lain. Tak jarang ia harus menapaki perbukitan dan mengarungi laut dengan perahu pumpboat. Ia pun saban hari harus menempuh perjalanan sekitar 9 kilometer dari rumahnya di Bowongkali ke sekretariat PNPM Kecamatan Tahuna.

Padahal, honor sebagai pendamping lokal tidak banyak. Sampai 2011, setiap bulan ia hanya mendapat Rp 250 ribu. ?Sekarang ini insentif sudah dinaikkan menjadi Rp1 juta,? kata Jeremia, yang wilayahnya pada 2010-2012 mendapat alokasi PNPM sebanyak Rp 4 miliar.

Semua jerih-payahnya itu ?terbayar?, ketika ia melihat anak sekolah tak lagi harus menempuh jalanan becek dan warga tak harus berjalan jauh mengambil mata air. ?Yang dulunya tidak punya modal untuk berdagang ikan, malah kini ada yang punya perahu. Yang dulunya hanya menjadi penjahit, kini memiliki toko baju kecil-kecilan.?

Halaman:
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...