Alat Pelindung Diri dan Alkes Kurang, Rumah Sakit Saling Bersaing

Martha Ruth Thertina
19 April 2020, 12:52
alkes, apd, apd langka, masker n95, corona, virus corona
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.
Dua orang dokter berdiri di depan salah satu ruang modular di Rumah Sakit Pertamina Jaya, Cempaka Putih, Jakarta, Senin (6/4/2020).

Perhimpunan Rumah Sakit di Seluruh Indonesia (Persi) menyatakan kebutuhan alat pelindung diri (APD) atau alat kesehatan (Alkes) melonjak tinggi. Bantuan dari donatur dan pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Persaingan antar-rumah sakit pun tak bisa dielakkan.

Sekretaris Jenderal Persi Lia G. Partakusuma menjelaskan, ketersediaan masker bedah sudah membaik, namun masker N95 masih sulit didapat. Masker tersebut dibutuhkan oleh tenaga kesehatan yang melakukan kontak langsung dengan pasien Covid-19.

“Kami sampai harus bersaing dengan rumah sakit lain untuk mendapatkan barang tersebut,” kata dia dalam Talkshow Crosscheck yang diadakan Medco.id, Minggu (19/4). Sebab, dalam kondisi sekarang, yang cepat membayar, dia yang bisa mendapatkan.

(Baca: IDI: 50% Dokter Konsulen dan Pendidikan Spesialis Terinfeksi Covid-19)

Alhasil, prosedur-prosedur pembelian yang selama ini berlaku di internal rumah sakit harus dipangkas untuk memperoleh barang tersebut. Kondisi ini dinilainya tidak mudah sebab harga barang bisa berlipat ganda.

“Kami setiap hari mengecek persediaan, persediaan tinggal dua hari, persediaan tinggal lima hari. Kami harus gerilya ke mana-mana,” ujarnya. Ia berharap ada pasokan yang sebanyak-banyaknya dan harga yang distandarkan.

Sedangkan obat-obatan, menurut dia masih bisa dicari. Dokter biasanya meresepkan antibiotik dan/atau antiviral, bisa juga ditambah suplemen atau vitamin. Namun, obat yang disebut efektif untuk Covid-19 seperti obat malaria sulit didapat. “Orang sakit malaria berkurang, obatnya jadi susah dicari,” kata dia.

(Baca: Puncak Covid-19 Belum Terlewati, Tetap Lawan Virus Corona dari Rumah)

Juru Bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga menjelaskan, Indonesia memang memiliki masalah produksi sejak lama yang tidak pernah diselesaikan. Dari sektor kesehatan, lebih dari 90% alat kesehatan dan bahan baku obat diimpor luar negeri. Lapisan untuk masker medis juga diimpor.

Alhasil, ketika impor tersendat seperti sekarang ini, terjadi masalah pasokan. “Selama ini kita hanya tukang jahit,” ujarnya. Menteri BUMN Erick Thohir, kata dia, sudah melihat masalah ini, maka dibuat induk BUMN kesehatan, dengan kekhususan Biofarma produksi obat, Indofarma produksi alat kesehatan, dan Kimia Farma distribusi.

Namun, belum lama dibentuk, masalah pandemi corona datang. “Langsung diuji,” ujarnya. Di tengah masalah produksi dan darurat pandemi corona, impor harus terus diupayakan paralel dengan upaya menggenjot produksi lokal. “Ada ventilator beli, bahan baku beli,” kata dia. Impor sendiri tidak mudah lantaran persaingan antar-negara telah melibatkan mafia dunia.

(Baca: Krisis Ventilator di Tengah Pandemi Corona, Seberapa Penting Alat Ini?)

Saat ini, lembaga pendidikan seperti Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia tengah merancang ventilator, yang diharapkan segera lolos uji klinis sehingga bisa diproduksi oleh BUMN-BUMN seperti PTDI dan Pindad.

Sedangkan Anggota Komisi VI DPR Martin Manurung menilai sejatinya BUMN melalui dana CSR-nya bisa membanjiri masyarakat dengan masker kain, sehingga masyarakat umum tidak berebut dengan rumah sakit. "Sekarang mana? Tidak ada, Ini saja tidak dilakukan," kata dia.

(Baca: 50% ICU RS Pemerintah Tanpa Ventilator, Erick Akan Cari ke Ujung Dunia)

Meski begitu, ia sejalan dengan Arya soal masalah produksi yang tak pernah selesai. Selain itu, impor dan produksi dalam negeri harus berjalan paralel dalam kondisi darurat seperti sekarang. Ia pun mendorong pemerintah untuk membuka keran impor lebih besar sehingga lebih banyak importir terlibat. Ini untuk mencegah mafia-mafia lokal bermain. "Selangnya harus diperbanyak," ujarnya.

Lia menyatakan, dengan kondisi ini, tantangannya bagi medis adalah bagaimana agar tidak ketergantungan dengan barang-barang impor. Ia menekankan pentingnya dukungan dana untuk riset dan produksi dalam negeri. Ia percaya, untuk obat misalnya, hutan Indonesia memiliki kekayaan yang besar yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk bahan baku.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...