Perjuangan Melawan Pandemi Covid-19 dari Garis Depan
Shif kerja di Wisma Atlet terbagi ke dalam tiga waktu: pagi dari jam 08.00-16.00, sore dari 16.00-23.00, dan malam dari 23.00-08.00. Sehingga, lebih kurang delapan jam mereka mesti menggunakan pakaian APD level 3.
Selama itu pula mereka tak bisa makan, minum, buang air kecil, dan besar. Sebab, sekali pakaian dilepas tak bisa digunakan lagi, sesuai protokol.
Data per 14 Agustus 2020, terdapat 1.303 pasien terkonfirmasi virus corona yang dirawat di Wisma Atlet, seperti disampaikan Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I, Kolonel Marinir Aris Mudian dalam keterangan resminya. Rinciannya, 729 pria dan 577 wanita.
Seluruh pasien tersebut, kata Anggraini, ditempatkan di Tower 6 dan 7. Sementara, perawat dan dokter ditempatkan di Tower 3 dan 2. Meskipun dipisah, risiko penularan kepada tenga kesehatan tetap besar karena mereka bersentuhan dengan pasien saban hari.
Jawaban atas kendala ini baru datang setelah pandemi menginjak bulan ketiga. Saat itu donasi APD mulai berdatangan dari pelbagai pihak dan pemerintah memfokuskan produksi dalam negeri. Salah satu yang aktif mendistribusikan alat kesehatan adalah Satgas Penanganan Covid-19, seperti bisa dilihat dalam Databoks berikut:
Faskes lain yang terbatas adalah kamar rawat inap. Hal ini diungkapkan Aditya. Rumah Sakit Royal Surabaya hanya memiliki 30 kamar. Padahal rumah sakit ini sejak Maret sampai Agustus telah merawat lebih dari 300 pasien Covid-19 dengan pelbagai tingkatan gejala.
Hal ini karena Kecamatan Rungkut yang menjadi wilayah operasi Rumah Sakit Royal memiliki kasus tinggi. Data Dinas Kesehatan Surabaya dalam situs lawancovid-19.surabaya.go.id per 14 Agustus, mencatat mencapai 599 kasus. Terbanyak di Kelurahan Kalirungkut dengan 185 kasus.
Tingginya kasus di Rungkut pun tak lepas dari kondisi Surabaya yang masih tergolong zona oranye dalam peta Covid-19 Pemprov Jawa Timur dengan total 10.309 orang terkonfirmasi corona per 14 Agustus. Zona oranye menunjukkan risiko sedang.
Kendala Rumah Sakit Royal hanyalah cuplikan kecil dari gambaran yang lebih besar. Data Kementerian Kesehatan pada 2018 menyatakan, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia sebesar 1,17 per 1.000 penduduk.
Artinya, hanya ada 1 tempat tidur untuk seribu penduduk. Sangat jauh jika dibandingkan Korea Selatan yang memiliki lebih kurang 11 tempat tidur per seribu penduduk.
“Tanpa fasilitas memadai, penanganan corona menjadi semakin sulit. Kami khawatir rumah sakit tidak lagi mampu menampung pasien dengan kasus yang tak kunjung melandai,” kata Humas Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Halik Malik kepada reporter Katadata.co.id, Sabtu (8/8).
Terinfeksi dan Gugur
Pertarungan dalam keterbatasan tak sepenuhnya dapat dimenangkan para tenaga kesehatan. IDI sampai 4 Agustus lalu mencatat 74 dokter di seluruh Indonesia meninggal akibat terinfeksi Covid-19. Sementara Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per 12 Juli mencatat 39 perawat meninggal dengan penyebab sama.
Namun, data tersebut belum menggambarkan sepenuhnya dampak Covid-19 terhadap tenaga kesehatan. Mengingat, belum ada data resmi yang dipublikasikan pemerintah pusat. Selama ini data dikumpulkan secara parsial oleh Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan oleh lembaga non-pemerintah yang membuatnya sulit diakses masyarakat.
Amnesty Internasional adalah lembaga yang turut melakukan pendataan ini. Sampai 12 Juni, seperti dalam situs resmi mereka, tercatat 878 kasus tenaga kesehatan terinfeksi virus corona di Indonesia. Beberapa di antaranya 174 kasus di DKI Jakarta, 225 kasus di Jawa Timur, dan 110 kasus di Jawa Tengah.
Sementara, data Dinas Kesehatan Jawa Timur yang diterima Katadata.co.id mencatat per 9 Juli total 295 tenaga kesehatan di pelbagai bidang terinfeksi Covid-19. Rinciannya 23 meninggal dunia, 188 sembuh, dan 84 masih dalam perawatan.
Lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumatera Utara per 8 Agustus mencatat 348 orang tenaga kesehatan di wilayahnya terinfeksi virus corona. Detailnya, 42 dokter spesialis, 13 peserta pendidikan dokter spesialis, 29 dokter umum, 207 perawat, 29 bidan, dan 30 analis laboratorium.
“Kami ingin ada pembenahan data dan informasi terkait dokter dan tenaga kesehatan yang terdampak pandemi. Dari data-data tersebut bisa dilakukan berbagai upaya pencegahan,” kata Halik.
PB IDI mengusulkan kepada pemerintah melakukan tes usap berkala kepada dokter dan tenaga kesehatan di tiap rumah sakit, bukan hanya untuk mereka yang menangani Covid-19. Mengingat saat ini semakin banyak orang tanpa gejala yang meningkatkan risiko penularan pada tenaga kesehatan.
Halik menyatakan, rata-rata usia dokter yang meninggal akibat Covid-19 di bawah 50 tahun. Sementara, per dokter yang meninggal membuat Indonesia kehilangan 15 tahun pelayanan. Satu hal yang tak akan pernah tergantikan di tengah pentingnya peran mereka saat pandemi.
“Dari 270 juta rakyat, hanya 1 jutaan tenaga kesehatan. Dokter yang aktif melayani tidak lebih dari 200 ribu orang,” kata Halik.
Ketua Satgas Covid-19 IDI, Zubairi Djoerban menyatakan peran pemerintah sangat erat dalam menjaga keselamatan para tenaga kesehatan, meskipun bukan penentu. Alasannya, pemerintah yang memiliki ketersediaan infrastruktur dan kebijakan untuk melakukannya.
Ia berharap ke depannya pemerintah bisa lebih meningkatkan perhatiannya kepada tenaga kesehatan. Seperti memberikan lebih banyak APD yang menjadi tameng utama untuk mengurangi risiko penularan virus corona.
Begitupun menambah jumlah rumah sakit rujukan agar pasien Covid-19 tak tercampur dengan pasien penyakit lain yang bisa mencipatakan klaster di tempat pelayanan kesehatan.
“Jadi dulu orang mengenal sistem safety medicine. Di mana orang harus aman ketika berobat. Kini harus ada dokter safety. Kalau saya sakit ini kan bawa ke rumah. Keluarga bisa tertular,” kata Zubairi kepada reporter Katadata.co.id, Minggu (9/8).