Kans RI Meraih Untung dari RCEP di Tengah Ancaman Dominasi Tiongkok
Sejumlah pihak mengkhawatirkan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) akan mendominasi peran Tiongkok di ASEAN. Namun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak mengkhawatirkan hal tersebut.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo beralasan berbagai perusahaan telah meninggalkan era ketergantungan yang berlebihan kepada satu negara, termasuk Tiongkok. Hal ini penting untuk mencegah disrupsi saat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
"RRT tidak akan mendominasi RCEP dalam konteks perdagangan global saat ini," kata dalam webinar Perjanjian RCEP : Arti Penting dan Pemanfaatannya Bagi Kepentingan Nasional, Selasa (24/11).
Oleh karenanya, diversifikasi pasar perlu dilakukan dengan mencari negara tujuan ekspor serta mencari sumber impor dari negara lain. Tren ini, lanjut Iman, diperkirakan akan semakin menguat dalam beberapa waktu mendatang. "Karena ketegangan antar negara masih berlangsung pada negara lain," ujar dia.
Di sisi lain, Indonesia diperkirakan bakal mendapatkan keuntungan dari perjanjian dagang terbesar di dunia itu. Sebab, Indonesia mempunyai kesempatan untuk memperkuat daya saing dalam perdagangan regional dan dunia.
Tak hanya itu, RCEP berpotensi meningkatkan investasi di Tanah Air, terutama bila Indonesia memiliki demokrasi yang stabil, tenaga kerja yang produktif, serta menguasai teknologi. "Indonesia akan memainkan peran di RCEP dan juga dengan perdagangan dunia," katanya.
Peneliti dari Center of Indonesian Policy Studies Ira Aprilianti menilai, RCEP berpotensi meningkatkan investasi sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong perekonomian domestik. Ia pun menyatakan tidak setuju dengan kekhawatiran dominasi Negeri Panda di ASEAN.
Apalagi menurutnya, perekonomian Tiongkok sebagian besar telah banyak ditopang oleh kemajuan teknologi. Sedangkan RI masih banyak ditopang manufaktur. "Mereka telah bertransformasi dari produk manufaktur ke teknologi," ujarnya.
Selain itu, Ira menilai transformasi Tiongkok ke teknologi dapat menimbulkan efek positif. Sebab, perusahaan manufaktur akan mengalihkan usahanya ke negara ASEAN lainnya.
Di sisi lain, RCEP akan mempermudah investor untuk memindahkan usahanya ke negara lain lantaran adanya penyeragaman Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin/ROO). Kesamaan ROO dapat mempermudah proses ekspor dan impor.
Sebelumnya nada kekhawatiran soal RCEP mulai muncul, salah satunya dari mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Marty mengatakan meski merupakan inisiatif ASEAN, namun Tiongkok berpotensi men dominasi perjanjian ini di masa depan.
"Namun tidak tepat menggambarkan demikian untuk saat ini," kata Marty dalam sebuah sesi diskusi hari Jumat (20/11) lalu.
Sedangkan dikutip dari The Economist, Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang, menyebutkan RCEP sebagai “kemenangan multilateralisme dan perdagangan bebas” dan “seberkas cahaya dan harapan di tengah awan”.
Dalam jangka panjang, beberapa anggota RCEP disebut khawatir terhadap pergeseran peran Tiongkok pada bidang ekonomi, politik, dan militer yang akan mendominasi Asia. India pun disinyalir menarik diri dari RCEP lantaran khawatir industri dalam negerinya akan dibanjiri oleh impor dari Tiongkok.
“Ketentuan ini akan membanjiri pasar India dengan barang-barang murah, terutama dari Tiongkok, yang akan merugikan industri kita,” kata Profesor Ram Singh dari Delhi School of Economics, Selasa (17/11) lalu dikutip dari The Hindustan Times.