Tantangan Perubahan Perdagangan Global Berlanjut Setelah Pandemi
Pandemi Covid-19 mengubah lanskap perdagangan internasional. Perubahan terutama pada penerapan standar baru perdagangan yang semakin ketat yang diperkirakan akan terus berlanjut setelah masa pandemi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menyebutkan standardisasi faktor keamanan dan kesehatan suatu produk meningkat demi mencegah penularan Covid-19. Standardisasi keamanan dan kesehatan ini bukan hanya pada produk tapi juga pada pengemasan dan labelnya.
"Setelah pandemi standardisasi ini akan menjadi lebih ketat terutama untuk produk pangan," kata Shinta dalam Jakarta Food Security Summit atau JFSS-5, Kamis (19/11).
Standardisasi lain yang juga diterapkan yakni faktor suistanability yang dilihat dari kontribusi suatu produk terhadap kerusakan lingkungan pembalakan dan kebakaran hutan, pemusnahan satwa langka, dan juga illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing.
Penerapan standar ini, kata Shinta, memberikan tekanan terhadap komoditas ekspor utama Indonesia, seperti minyak kelapa sawit mentah, karet, dan produk perikananan.
Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan standardisasi di masa pandemi mengubah model daya saing dalam perdagangan internasional. "Ini menjadi faktor kritis yang perlu diperhatikan pengusaha dan pemerintah ke depannya,"
Bayu menyebut dua standarisasi lain yang penting diperhatikan yakni inklusivitas dan digitalisasi. Inklusivitas menitikberatkan pada keterlibatan petani pada proses produksi pangan. "Cirinya kami mau membeli produk Anda bila tidak mencederai petani, bila ada kolaborasi yang sinergi petani akan menjadikan daya saing produk semakin bagus," kata dia.
Adapun digitalisasi akan menjadi semakin penting dalam perdagangan di antaranya dalam bentuk penggunaan barcode pada produk. Bila suatu produk tak memiliki barcode maka akses pasarnya akan makin sulit. Barcode tersebut menjadi penting karena dapat memberikan informasi dengan cepat seperti asal barang tersebut.
Bayu mengatakan para pengusaha yang ingin menembus pasar ekspor perlu memperhatikan mencari informasi standarisasi yang berlaku. "Aturan standar ini bisa sangat spesifik seperti faktor keamana antara udan dan ikan bisa berbeda," kata dia.
Pengusaha pun harus serius memenuhi standar karena akan memberikan citra terhadap perdagangan Indonesia. Dia menyebutkan untuk memastikan keamanan produk, tak cukup dengan hanya mengatakan produk itu aman tapi harus ditunjukkan lewat hasil laboratorium dari lembaga tersertifikasi.
"Untuk menembus ekspor kata kuncinya itu daya saing dan memiliki nilai tambah dan tak ada kompromi atas standar baru yang sekarang berlaku," kata Bayu.
Pentingnya Pemetaan Ekspor
Memahami perubahan standar perdagangan ini penting agar produk RI menembus pasar ekspor. Pasar perdagangan ekspor ini berperan penting dalam pemulihan ekonomi.
Badan Perdagangan Dunia (WTO) memproyeksikan volume perdagangan dunia akan turun sebesar 9,2% pada 2020. Volume perdagangan global kemungkinan merangkak pulih pada akhir 2021 dengan pertumbuhan sekitar 7,2%.
Seiring dengan anjloknya transaksi perdagangan dunia, WTO memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2020 akan minus 4,8% dan diprediksi kembali tumbuh 4,9% pada 2021.
Menyiasati perubahan model perdagangan luar negeri, Bayu menyarankan pentingnya pemerintah dan pengusaha
merumuskan pemetaan pasar ekspor. Menurut dia butuh pemahaman pasar (market intelligence) perdagangan global, memetakan komoditi pangan yang siap ekspor hingga desain pasar (design market) untuk menjual produk.
Bayu mencontohkan selama ini Indonesia menjadi produsen utama kelapa sawit dan saatnya mencari produk unggulan lain. Namun, akan sulit mencari tanaman lain pengganti sawit yang telah mendapat perlakukan istimewa dengan lahan seluas 15 juta hektare.
Dia menilai produk unggulan ke depannya tak hanya berlaku untuk produk sejenis tapi beragam jenis seperti herbal, rempah, hingga kelapa. "Kita perlu berpikir keratif dengan membawa produk yang tidak terlalu besar namun memiliki daya saing yang sangat besar," kata dia.
Shinta mengusulkan untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi hambatan ekspor perlu beberapa langkah yang ditempuh. Pertama, meningkatkan produktivitas dan stabilisasi produksi dalam negeri, serta reformasi sektor agrikultur dan perikanan dengan perbaikan iklim usaha.
Kedua, pembenahan mistmatch input-output antara produksi pangan hulu dengan kebutuhan input industri makanan dan minuman hingga pasar ekspor dari segi volume dan standar, serta sinergi antar elemen pemerintah. "Masalah ini memang lebih kepada hulu dan hilir yang harus terus dibenahi Indonesia," ujar Shinta.
Ketiga, penguatan diplomasi dengan cara melakukan institutional reform pada institusi publik dan swasta yang bertanggung jawab atas promosi, perdagangan, dan investasi melalui kajian-kajian dan penguatan riset pasar.
Kajian tersebut antara lain mencakup pengumpulan data dan informasi hambatan non-tarif termasuk regulasi teknis, standar, dan private standards, pengumpulan data usaha, business matching, dan pendampingan.
Manfaatkan Negosiasi Perdagangan
Indonesia dapat memperoleh berbagai peluang ekspor setelah merampungkan berbagai pakta dagang, di antaranya dari perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP). RCEP merupakan kesepakatan perdagangan terbesar di dunia yang melibatkan 15 negara yakni negara-negara ASEAN ditambah Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Tiongkok.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan perjanjian RCEP menjadi kesepakatan terbesar di dunia karena mewakili 30,2% Produk Domestik Bruto Dunia, 27,4% perdagangan dunia, 29,8% investasi asing langsung dunia, dan melibatkan 29,6% populasi dunia.
Bayu menyebut perjanjian RCEP memberikan peluang perdagangan yang sangat besar sehingga perlu dimanfaatkan maksimal. "RCEP ini laur biasa dimensinya sehingga kita perlu membuat pendalaman agar dapat memanfaatkannya," kata dia.
Ekonom Centre for Strategic and International Studies Indonesia Fajar B Hirawan menyebutkan terdapat tiga langkah yang harus dilakukan pemerintah agar manfaat RCEP bisa optimal. Pertama, kolaborasi atau sinergi semua pemangku kebijakan, khususnya pemerintah dan eksportir.
Kedua, perlu adanya fleksibilitas dalam aturan teknis turunan terkait RCEP, mulai dari perangkat hukum, sampai aturan mengenai tingkat komponen dalam negeri.
Ketiga, pemerintah wajib membantu pelaku ekspor agar mereka dapat bersaing dengan eksportir dari negara anggota RCEP. Bantuan dapat berupa insentif dalam bentuk pembebasan bea keluar atau masuk, fasilitas perpajakan, dan prosedur teknis lain yang terkait transaksi perdagangan.
Selain RCEP, Shinta menyebutkan pentingnya mempertahankan fasilitas pengurangan bea masuk atau Generalized System of Preferences (GSP). Pada awal November lalu, pemerintah Amerika Serikat memberikan perpanjangan GSP untuk Indonesia. Fasilitas ini penting karena US Trade Representative (USTR) di WTO tidak lagi memasukkan Indonesia sebagai negara berkembang.
Berdasarkan data statistik dari United States International Trade Commission (USITC), ekspor Indonesia yang menggunakan GSP mencapai US$ 2,61 milyar pada 2019. Angka ini setara dengan 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS, yakni US$ 20,1 milyar.
Hingga Agustus 2020, nilai ekspor GSP Indonesia ke AS tercatat sebesar US$ 1,87 milyar atau naik 10.6% dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya. Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor GSP terbesar ke-2 di AS setelah Thailand.
Tingginya potensi dagang dengan AS membuat Indonesia juga mengusulkan diadakannya negosiasi Limited Trade Deal (LTD) atau Kesepakatan Perdagangan secara terbatas antara Indonesia dan AS. Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan menjelaskan LTD berpotensi mendongkrak perdagangan dua arah Indonesia dan AS hingga mencapai US$ 60 milyar pada 2024.