Transformasi Mantan Perambah Menjadi Pengelola Hutan
“Mohon maaf, suara saya hilang-hilang, maklum, ini di hutan, sekeliling kebun karet,” kata Gunawan, Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktan) Karya Sialang Makmur, dalam sambungan daring dengan tim riset Katadata.
Sesekali dia menyalakan kamera saat bercerita tentang Gapoktan yang dipimpinnya. Terlihat latar belakang pohon karet di kejauhan. Bincang-bincang jarak jauh ia lakukan di Desa Seberuk Blok D, Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Adapun, pohon-pohon karet itu merupakan usaha kelompok tani dari hasil program Perhutanan Sosial lewat skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Perlu waktu panjang bagi Gunawan dan para petani lainnya untuk memperoleh izin. Awalnya, pria asal Banyuwangi Jawa Timur tersebut salah satu dari perambah hutan di kawasan Hutan Terusan Sialang seluas 8.000 hektare (ha) itu.
“Mulanya 1998-1999, saat reformasi, saya dengar banyak bukaan. Kami berduyun-duyun membuka tebang lahan,” katanya. Belakangan, dia baru tahu bahwa hutan itu milik negara. Dia dan para pembuka lahan lainnya pun dicap sebagai perambah. Alhasil, gesekan antar-perambah sangat tinggi lantaran tiada legalitas pengelolaan.
Pun dengan perambah lainnya yang baru menyusul kemudian. Adanya tumpang tindih di kawasan hutan yang oleh Belanda disebut Register 10 itu kerap mengakibatkan konflik.
Register 10 awalnya diberikan pemerintah kepada Inhutani. Dari target 1.000 ha, perusahaan itu hanya sanggup menanami karet seluas 305 ha. Maka tatkala masyakarat mulai merambah hutan pada 1998, mereka mengikuti langkah Inhutani dengan menanam pohon karet.
“Rambahan masyarakat meluas dan Inhutani kalah,” kata Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah V Lempuing-Mesuji Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, Susilo Hartono, seperti dikutip dari Koran Tempo.
Akibat dari tumpang tindih dan sejumlah konflik, Gunawan mengatakan, masyarakat berinisiatif mengajukan izin ke pemda setempat. Prosesnya dimulai sejak 2002. Baru pada Maret 2009, Bupati Ogan Komering Ilir mengajukan permohonan pecadangan kawasan hutan produksi Terusan Sialang menjadi area pencadangan kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Lalu, izin HTR dikantongi pada 2012 dan para pemegang izin sejak 2017 secara rutin menyetorkan kewajiban membayar provisi sumber daya hutan (PSDH).
“Dengan mengantongi izin dan menyetorkan PSDH, kami punya perlindungan secara hukum, pemanfaatan hutan resmi dan kami pun tenang berusaha,” kata Gunawan.
Gapoktan Karya Sialang Makmur salah satu dari sekian kelompok tani yang mendapatkan manfaat dari skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Perhutanan Sosial. HTR di Sumatera Selatan memiliki 68 izin dengan luasan 21.660,07 ha untuk 3.923 kepala keluarga.
Adapun Sumatera Selatan merupakan percontohan provinsi terbaik dalam implementasi skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Hal itu diketahui dari perhitungan Indeks Perhutanan Sosial yang dirumuskan oleh tim Katadata Insight Center (KIC) pada 2020. Sumsel mendapat indeks tertinggi di kategorinya, yaitu 54, lebih tinggi dari media nasional sebesar 33.
“Nilai indeks tersebut didapat dari perhitungan input, proses dan output,” tulis KIC dalam laporannya (lihat : https://katadata.co.id/perhutsos/dashboard)
Sumatera Selatan unggul pada sub-indeks output dengan memiliki Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) kategori emas sebanyak tujuh kelompok atau tertinggi dibanding provinsi lainnya. Selain itu, Sumsel juga memiliki kelompok usaha kategori perak sebanyak 10 kelompok dan tertinggi kedua setelah Sulawesi Barat. Program perhutanan sosial juga merupakan agenda pemda yang tertuang dalam RPJMD, RKPD, dan Perda.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, Pandji Tjahjanto, pemda telah menyiapkan peraturan daerah (perda) tentang hutan lindung dan produksi. Dalam perda tersebut juga memuat tentang perhutanan sosial. “Regulasi ini dibuat untuk mempermudah perizinan perhutanan sosial,” katanya.
Hal lain yang patut dicontoh dari pemda Sumatera Selatan adalah SK Gubernur tentang percepatan perhutanan sosial. Pokja ini diharapkan dapat mengakselerasi perluasan areal perhutanan sosial, memfasilitasi KUPS dalam mengembangkan bisnis dan meningkatkan kapasoitas KUPS.
Terkait HTR, Pandji mengatakan, masyarakat memanfaatkan perhutanan sosial untuk menggarap sektor-sektor andalan sesuai geografis daerah. Salah satunya untuk menanam kopi dan karet. Seperti Gapoktan Karya Sialang Makmur, 91 persen area ditanami karet.
Sampai 2019, dari 28 KTH, 11 di antaranya sudah membayar PSDH. Nilai PSDH terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah volume panen karet setiap tahunnya. Pada 2017, KTH membayar Rp46,3 juta PSDH, kemudian naik jadi Rp82,6 juta pada 2018, dan pada 2019 naik lagi jadi Rp122,5 juta.