Menag Yaqut: Syiah dan Ahmadiyah Warga Negara yang Harus Dilindungi
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengklarifikasi pemberitaan yang menyatakan bahwa pemerintah akan mengafirmasi hak-hak beragama penganut Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia, yang selama ini mengalami kekerasan dan persekusi dari masyarakat karena keyakinannya.
“Itu bukan pernyataan saya,” ujarnya kepada Katadata.co.id, melalui pesan singkat, Jumat (25/12). Menurutnya, pemerintah akan melindungi penganut Syiah dan Ahmadiyah karena mereka adalah warga negara Indonesia yang harus dilindungi.
Untuk menjembatani perbedaan yang ada, dia mengatakan bahwa pemerintah akan memfasilitasi dialog. “Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan,” kata dia.
Pernyataan tersebut merespons Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra yang meminta pemerintah agar mengafirmasi secara nasional pemeluk agama minoritas, terutama yang telah tersisih di masyarakat dan mengalami persekusi.
“Pemerintah kurang afirmasi, misalnya terhadap pengungsi Syiah di Sidoarjo, orang-orang Ahmadiyah yang dipersekusi oleh kelompok-kelompok berjubah dan memakai gamis,” ujarnya pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (15/12).
"Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi," kata Azyumardi.
Selain itu sikap intoleransi juga masih terjadi antar umat beragama. Misalnya saat pembangunan rumah ibadah, baik masjid ataupun gereja.
“Di wilayah yang mayoritas Kristen (protestan), umat Katolik susah bangun gereja. Yang mayoritas Katolik, orang protestan juga susah untuk membangun,” kata dia.
Ia berpendapat bahwa akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.
"Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur begitu, ya (oleh Pemerintah). Bagaimana supaya adil," katanya.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.
Azyumardi mengatakan bahwa faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah juga ikut andil menyebabkan permasalahan tersebut.
"Itu saya kira perlu ditata ulang ini, ya. Bagaimana pihak yang berkuasa ini merasa kurang toleran. Jadi, masih perlu saya kira dilakukan afirmasilah dari tingkat nasional," kata Azyumardi.