Peluang Ekonomi Syariah di tengah Paradoks dan Ketertinggalan
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia mencapai 87,18 persen, Indonesia memang memiliki peluang memacu ekonomi syariah. Namun praktiknya bukan tanpa tantangan. Sejumlah pekerjaan rumah terus membayangi mengingat industri syariah di Tanah Air relatif terlambat hadir dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah Erick Tohir mengatakan,sektor jasa keuangan syariah Indonesia memang terus mengalami pertumbuhan. Tapi, perlu diakui bahwa industri syariah di Indonesia terlambat eksis.
Mengutip Katadata.co.id, Indonesia baru memulai ekonomi syariah pada 1991, dengan ditandai pendirian bank syariah pertama, yaitu PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Sebaliknya Malaysia yang juga memiliki banyak penduduk muslim, sudah mulai menerapkan ekonomi syariah sejak 1963.
Saat ini, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) memiliki misi agar Indonesia menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia pada 2023 mendatang. Hal ini juga sesuai dengan master plan ekonomi syariah 2019-2024 yang diterbitkan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.
"Keselarasan ini penting untuk menciptakan harmoni dan sinergi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah nasional secara terintegrasi," ujar Erick.
Di dalam kancah global, ekonomi Islam membuka peluang besar bagi pemerintah sejumlah negara, termasuk Indonesia. Indonesia berada pada ranking kelima indikator ekonomi Islam global, setelah Malaysia, UAE, Bahrain, dan Arab Saudi. Peluang yang terbuka bagi pemerintah diperkirakan mencapai US$254 miliar dari perdagangan produk-produk halal (2018). Dari perdagangan tersebut negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) dapat meningkatkan PDB antara 1 – 3 persen.
Jumlah populasi muslim di Indonesia merupakan pangsa pasar produk dan jasa berbasis ekonomi dan keuangan syariah yang sangat besar. Hal ini didukung dengan tren kenaikan konsumsi barang dan jasa halal yang diperkirakan memiliki pertumbuhan cukup tinggi. Bahkan, Indonesia telah dinobatkan sebagai destinasi wisata halal terbaik oleh Global Muslim Travel Index 2019. Artinya, pertumbuhan ekonomi syariah di Tanah Air terus berkembang seiring kesadaran masyarakat terhadap implementasi prinsip syariah di dalam kehidupan yang kian membaik.
Meskipun demikian, potensi ekonomi syariah di Indonesia dinilai paradoks pada beberapa sisi. Misalnya, kuantitas penduduk muslim yang ada belum berbanding lurus dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Apabila dibandingkan dengan pangsa pasar nasional, perbanka konvensional tetap mendominasi market dalam negeri.
Mengutip Republika.co.id, terungkap bahwa setidaknya ada enam poin besar yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan ekonomi syariah termasuk MES. Salah satu poin terkait market share perbankan sariah. Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa industri jasa keuangan syariah baru 9,90 persen, sedangkan bank syariah lebih kecil lagi baru 6,5 persen.
Kondisi tersebut tidak lepas dari rendahnya literasi keuangan syariah yang baru sekitar 8,93 persen. Ini merupakan poin paradoks kedua. Sementara itu, literasi keuangan konvensional secara nasional sudah berkisar 38,03 persen. Belum lagi soal indeks inklusi keuangan syariah sebesar 9,1 persen, sdangkan inklusi keuangan nasional mencapai 76,19 persen.
“Literasi menunjukkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat atas produk dan jasa keuangan, sedangkan inklusi berhubungan dengan keterlibatan masyarakat di industri keuangan,” tulis Republika dalam artikel berjudul “MES dan Paradoks Keuangan Syariah Indonesia” pada 23 Maret 2021.
Poin ketiga, permodalan bank syariah juga terbatas. Ada enam bank syariah memiliki modal inti di bawah Rp2 triliun dari total 14 bank umum syariah per Desember 2020. Sejauh ini juga belum ada ank syariah masuk kategori BUKU IV, atau bank dengan modal inti di atas Rp30 triliun. Diyakini bahwa Bank Syariah Indonesia (BSI) mampu mendobrak tembok besar ini dengan modal inti saat ini senilai Rp21 triliun.
Keempat, terbatasnya SDM terutama sumber daya yang andal dan berkompetensi tinggi di bidang perbankan syariah. Ditambah, poin kelima, ialah kompetitif produk dan layanan keuangan syariah yang belum setara dengan keuangan konvensional. Oleh karena itu, perbankan syariah dituntut mampu menyediakan kebutuhan keuangan untuk berbagai sektor terutama riil dan UMKM, terlibat aktif dalam pengembangan industri halal dan ekosistem ekonomi syariah.
Perihal keenam menyangkut digitalisasi perbankan. Perubahan gaya hidup dengan dominasi transformasi teknologi mengharuskan perbankan mengubah modal dan basis bisnisnya. Alhasil, kegiatan perbankan memang tetap utama tetapi kantor bank tidak terlalu penting.
Saat ini, berdasarkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia, terdapat empat bidang pengembangan ekonomi syariah a.l. penguatan sektor riil ekonomi syariah, melalui pengembangan industri halal, peningkatan efisiensi keuangan syariah, penguatan penelitian ekonomi syariah melalui peningkatan kualitas SDM di bidang ekonomi syariah, serta pembentukan Badan Penyelenggara Jamina Produk Halal (BPJPH).