Amankah Menggabungkan Vaksin dari Dua Merek Berbeda?
Sejumlah negara menggelar program vaksinasi Covid-19 dengan dua dosis dari merek yang berbeda . Di Kanada, misalnya, hal tersebut dilakukan karena keterbatasan stok vaksin.
Sementara di Tiongkok, langkah ini dicoba lantaran diperkirakan dapat meningkatkan efektivitas vaksin viru corona. Dalam praktiknya, vaksin Sinovac disuntikan pada dosis pertama -yang efikasinya rendah- dan Sinopharm yang efikasinya lebih tinggi pada dosis kedua.
Untuk memastikan keamanan praktik pengkombinasian vaksin ini, studi dilakukan di Inggris dan Spanyol. Sebanyak 440 orang berusia di bawah 60 tahun disuntik AstraZeneca untuk dosis pertama dan vaksin Pfizer beberapa waktu setelahnya.
Melansir CTV News, hasilnya menunjukkan ada peningkatan antibodi sampai 150 kali. Tentu hasil yang sangat positif. Namun, kedua penelitian tersebut belum mampu mengungkap dampak kombinasi dua vaksin merek berbeda terhadap sistem imun. Satu hal yang pasti, pemberian vaksin ‘belang merek’ terbukti membuat gejala kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) lebih banyak ditemukan.
Walau lebih sering dijumpai, KIPI yang terjadi masih tergolong ringan seperti demam, kelelahan, sakit kepala, nyeri sendi, sampai nyeri otot. Namun terdapat temuan di mana 34 persen responden yang mendapat kombinasi vaksin AstraZeneca dan Pfizer mengalami demam. Angka ini tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan mereka yang mendapat dua dosis vaksin AstraZeneca.
Gejala demam biasanya berlangsung 2 - 3 hari. Berdasar penelitian yang sama, KIPI macam itu juga terjadi di orang-orang yang sempat terpapar Covid-19 kemudian mendapat vaksinasi. Sehingga bisa dibilang efek samping vaksin kombinasi ini masih dikategorikan aman.
Lebih lanjut studi dari Negeri Matador berkesimpulan, kalau kombinasi dua vaksin ini “reassuring” alias meyakinkan. Hal ini dikarenakan kedua vaksin punya vektor virus dengan cara kerja yang berbeda.
Profesor Imunologi Universitas Toronto, Tania Watts menjelaskan kalau AstraZeneca bekerja memanfaatkan adenovirus atau virus tidak aktif, sementara Pfizer bekerja dengan mRNA.
Penggabungan keduanya menjadi ide bagus. Ketika virus tidak aktif disuntikkan ke dalam tubuh, ia akan otomatis membentuk kekebalan tubuh. Sementara dengan memanfaatkan RNA, sistem imun tidak bakal mengenalinya langsung karena ia akan membentuk protein spike dalam tubuh terlebih dahulu, lalu baru bisa menyalakan antibodi. Akhirnya kombinasi vaksin ini akan saling melengkapi.
Meski berdasarkan penelitian menunjukkan hasil yang cenderung positif, Indonesia belum berencana melakukan hal ini. Jubir Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan kalau pihaknya mengetahui hal ini namun belum berencana menerapkannya.
"Terkait jenis vaksin kedua, ada studi di dunia, mencampurkan dua jenis vaksin bisa dilakukan. Tetapi Indonesia belum ada agenda tersebut," kata Wiku pada pertengahan Mei lalu. Idealnya memang perlu penelitian lebih jauh serta rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait praktik kombinasi vaksin untuk menjamin keamanan dan efektivitasnya.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan