Keindahan Batik Lasem Hasil Akulturasi Budaya Jawa dan Tiongkok

Image title
24 Agustus 2021, 09:10
Pekerja menata batik di Oemah Batik Lasem, Karang Turi, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Jumat, (13/8/2021). Kota yang menjadi bagian dari sejarah etnis Tionghoa di pesisir utara Jawa Tengah selama puluhan tahun seolah dilupakan orang. Padahal, di dalam kota
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Pekerja menata batik di Oemah Batik Lasem, Karang Turi, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Jumat, (13/8/2021).

Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dan terkenal dengan produksi batik. Daerah ini memiliki banyak penghasil batik terbaik di Jawa dengan ciri khas batik pesisir yang indah melalui pewarnaan yang berani.

Dalam buku Lasem Kota Tiongkok Kecil karya M. Azis, Lasem disebut juga Tiongkok Kecil atau La Petite Chine dalam bahasa Perancis. Sebab, Lasem adalah daerah pertama yang dikunjungi oleh Tiongkok di pantai utara Jawa.

Dalam sebuah artikel berjudul Aktualisasi Nilai Cina Dalam Batik Lasem oleh Rizali dan Sudardi, pada masa Kerajaan Hindu Majapahit abad 13-14 M, batik digunakan sebagai benda magis untuk sarana mistik.

Pola hias batik digunakan untuk kepentingan keagamaan bersifat simbolis dan bermakna sakral, seperti ragam hias Kawung, Bunga Padma Ceplok, Kalacakra atau Nitik Ceplok, Sayap Garuda (Lar, Sidomukti), Gringsing (Urna) dan Parang yang hanya digunakan oleh Raja dan anggota kerajaan.

Kusnin Asa dalam Mosaic of Indonesia Batik menjelaskan bahwa batik yang dibuat oleh masyarakat pesisir disebut batik Pesisiran. Sedangkan batik yang dibuat oleh masyarakat Keraton (Istana) disebut batik Pedalaman.

Batik Pesisiran memiliki warna beragam, sedangkan batik pedalaman umumnya menggunakan warna hitam, latar belakang putih biru atau coklat marun dan warna soga (coklat tua) yang memberikan nuansa gelap.

Inger McCabe Elliott membahas dalam buku Batik, Fabled Cloth of Java bahwa batik Pesisiran meliputi kota-kota penghasil batik di pesisir Jawa seperti Pekalongan, Pemalang, Cirebon, Indramayu, Garut, Batang, Semarang, Jepara, Lasem, Kudus, Banyumas, Tuban, Sampang Bangkalan Madura.

Sedangkan batik Pedalaman adalah Batik Mataraman Yogyakarta dan Surakarta yang awalnya dibuat di dalam Keraton kemudian berkembang dengan batik di luar Keraton, seperti di kota Kebumen, Purworejo, Wonosobo.

Sejarah Batik Lasem

Dalam buku Batik: Warisan Adiluhung Nusantara, Musman Asti dan Ambar B. Arini menjelaskan bahwa batik Lasem merupakan salah satu jenis batik pesisiran yang memiliki ciri khas tersendiri. Kekhasan tersebut merupakan hasil dari akulturasi dari budaya Tiongkok dan Jawa.

Orang-orang Tiongkok pada awalnya banyak menetap di pesisir utara pulau Jawa. Hal tersebut terjadi karena pelabuhan-pelabuhan besar pulau Jawa semuanya terletak di sepanjang pantai utara Jawa.

Tetapi, sebelum akulturasi dengan Tiongkok, batik Lasem bermula pada masa kepemimpinan Bhre Lasem I (1350-1375). Dalam buku Alkuturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga-Sekarang), Nurhajarini menerangkan, pada masa itu batik sudah menjadi pakaian bangsawan di wilayah Lasem.

Budayawan Lasem, Edi Winarno, menyatakan bahwa batik tulis Lasem sudah ada sejak zaman Majapahit. Corak Majapahit dapat ditemukan dari nama-nama Majapahit dalam motif batik Lasem, misalnya motif kendoro kendiri, kawung, dan grinsing.

Hingga saat ini, para perajin batik masih mengenal istilah sogan Majapahit yaitu warna dominan berwarna cokelat. Kemudian batik Lasem berkembang dengan kedatangan bangsa Tiongkok saat armada Dinasti Ming, di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho, berlabuh di dekat Lasem pada 1413 M.

Menurut R. Panji Kamzah dalam Carita Sejarah Lasem, salah seorang anggota armada bernama Bi Nang Un tertarik untuk menetap di Lasem. Atas izin Cheng Ho, Bi Nang Un pulang ke Champa untuk menjemput keluarganya dan kembali ke Lasem bersama istri, anak, dan kerabat dari Champa, China.

Bi Nang Un tinggal di rumah yang terletak di Desa Jolotundo sebagai hadiah dari Adipati Lasem Wijayabadra. Anaknya yang bernama Bi Nang Ti kemudian hari menikah dengan Adipati Badranala sehingga muncul akulturasi budaya.

Bi Nang Ti mengajari penduduk sekitar keterampilan membatik. Ia juga mengajari kreasi paduan motif bernuansa Tiongkok dengan motif Jawa. Astaufi Hepi Perdana menjelaskan dalam Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik Tahun 2009 bahwa paduan motif Burung Hong, Liong, Bunga Seruni, Banji, dan Mata Uang Kepeng yang berwarna merah merupakan ciri khas Tiongkok.

Dengan ciri khas yang unik tersebut, batik Lasem memiliki nilai jual dalam dunia perdagangan dan dikirim ke seluruh wilayah Nusantara. Berdasarkan buku Aspek Ritual dan Kreativitas Dalam Perkembangan Seni di Jawa karya Soedarsono, pedagang Portugal membeli batik di Jawa Tengah (Surakarta, Yogyakarta, dan Lasem) pada tahun 1519 lalu menjualnya ke berbagai pelosok Nusantara.

Ketika Belanda datang, mereka mengikuti jejak pedagang Portugal dan mengembangkan wilayah perdagangan batik hingga mancanegara, seperti Singapura dan Srilanka. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels, rakyat dipaksa untuk membangun Jalan Raya Anyer-Panarukan.

Dari kondisi rakyat saat membangun jalan tersebut, tercipta motif Krecak atau Watu Pecah. Para perajin batik Lasem turut mengintegrasikan kejadian-kejadian masa penjajahan Belanda ke dalam batik. Motif batik Lasem pun semakin berkembang dan menjadi gambaran nyata tentang kehidupan yang terjadi di Lasem.

Melansir dari situs National Geographic, masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai pada tahun 1860-an. Pengusaha batik Lasem mempekerjakan sekitar 2.000 orang pekerja untuk proses artistik dan sekitar 4.000 pekerja untuk proses lainnya.

Penelitian IPI menyebutkan hingga tahun 1970-an, produksi batik Lasem masih termasuk enam besar di Indonesia, selain Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon. Adanya perubahan politik dan kebijakan perdagangan pasca Orde Baru berpengaruh pada kejayaan batik Lasem.

Pada 1997 terjadi krisis moneter yang menyebabkan banyak pengusaha batik Lasem gulung tikar. Kemudian di tahun 2004, batik Lasem mulai bangkit kembali hingga momentum historis setelah melalui proses yang panjang, tepat pada 2 Oktober 2009, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusian untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpiece of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity).

Anugerah penetapan tersebut diberikan untuk batik Indonesia karena teknik, simbolisme, dan budaya terkait batik dianggap melekat dengan kebudayaan Indonesia. Selanjutnya pada 17 November 2009, pemerintah menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009.

Motif Batik Lasem

Motif batik Lasem memiliki ciri khas tersendiri, ada yang berasal dari warga Lasem asli, ada pula yang berasal dari akulturasi budaya Tiongkok. Dalam skripsi karya Reni Agustin berjudul Industri Batik lasem di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Tahun 1970 -1990, beberapa motif batik Lasem dijelaskan sebagai berikut.

Latohan

Motif Latohan memiliki bentuk seperti bunga dengan bulatan-bulatan kecil. Latohan diambil dari nama Latoh yang merupakan salah satu jenis tanaman laut yang sering fikonsumsi oleh masyarakat Lasem

Watu pecah (Watu Kricak)

Watu pecah atau disebut juga watu kricak melambangkan bentuk pecahan batu dan kerikil. Terdapat pula motif seperti tanah retak yang melambangkan tanah Lasem yang kering. Watu pecah merupakan motif yang terinspirasi oleh pekerja paksa zaman pemerintahan Daendels.

Gunung ringgit

Gunung ringgit memiliki gambaran yang menyerupai gunungan dalam pewayangan

Kupu - kupu

Motif ini merupakan lambang dari cinta kasih dimana masyarakat Tionghoa adalah orang-orang yang selalu menyebarkan sikap cinta kasih.

Kilin

Motif kilin melambangkan kebijaksanaan

Naga (Liong)

Motif ini memiliki makna keagungan. Lambang naga sering digunakan sebagai simbol kerajaan Tiongkok yang berarti keagungan.

Burung Hong (Phoenix)

Burung Hong adalah simbol kebaikan dan dipercaya oleh masyarakat Tionghoa sebagai burung dewa.

Kelelawar

Dalam masyarakat Tionghoa, kelelawar erat kaitannya dengan lambang panjang umur.

Sampe’s Engthai

Motif ini menggambarkan sepasang kekasih yang jatuh cinta dan menjadi cerita rakyat Tionghoa.

Batik Lasem dirayakan dalam acara tahunan yaitu Lasem Batik Carnival atau Karnaval Batik Lasem yang diadakan oleh pemerintah Kecamatan Lasem. Partisipan dalam karnival mengenakan batik Lasem sebagai bahan utama pembuatan kostum.

Dapat dipahami bahwa batik Lasem merupakan warisan budaya yang dilindungi serta mengandung makna dan sejarah yang kompleks. Peran Tiongkok juga dapat dilihat dari motif batik Lasem.

Membeli batik Lasem dapat membantu perajin batik untuk terus melestarikan karya mereka serta membantu perekonomian bangsa.

Editor: Redaksi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...