Menkes Dekati Merck untuk Dapatkan Obat Covid-19 Molnupiravir
Kementerian Kesehatan mulai mendekati beberapa perusahaan farmasi untuk mendapatkan obat untuk pasien Covid-19. Salah satu yang dijajaki adalah raksasa farmasi Amerika Serikat yakni Merck untuk mendapatkan Molnupiravir.
Sebagaimana diketahui, Molnupiravir digadang akan menjadi antivirus oral pertama untuk pasien corona. Cara kerjanya, mereka akan mengacaukan kode genetik virus agar tidak bereplikasi di tubuh inang.
Tidak hanya Merck, Kemenkes juga sudah berupaya menghubungi perusahaan global lainnya seperti Eli Lilly hingga produsen obat Korea Selatan, Celltrion Inc. "Jadi obat-obatan tersebut sudah kita approach pabrikannya dan beberapa telah merencanakan untuk mulai uji coba," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers virtual, Senin (4/10).
Kemenkes juga berupaya aktif mendekati berbagai produsen obat Covid-19, baik yang bersifat monoklonal antibodi maupun antivirus. Selain itu mereka juga menggandeng Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta rumah sakit untuk mengkaji dan melakukan uji klinis dari seluruh obat-obatan baru Covid-19.
Sebelumnya, studi laboratorium yang dilakukan Merck menunjukkan bahwa Molnupiravir kemungkinan efektif melawan varian virus corona, termasuk Delta. Hasil penelitian raksasa farmasi Amerika Serikat itu menunjukkan, obat tersebut paling mujarab bila diberikan pada tahap awal infeksi.
Mereka saat ini melakukan dua uji coba Fase III dari antivirus yang dikembangkan bersama Ridgeback Biotherapeutics untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan Covid-19. Uji coba melibatkan pasien yang tidak dirawat di rumah sakit, memiliki gejala tidak lebih dari lima hari, dan berisiko terkena penyakit parah.
“Obat ini akan mengubah cara perawatan pasien Covid-19,” kata CEO Merck Robert Davis.
Para ahli kesehatan juga memuji obat tersebut sebagai terobosan dalam mengobati Covid-19. Apalagi hinggasaat ini masih banyak tantangan dalam pengobatan pasien corona.
“Molnupiravir adalah obat antivirus oral yang dapat menurunkan risiko rawat inap hingga tingkatan tertentu akan penjadi game changer,” kata peneliti senior di Pusat Keamanan Kesehatan Universitas Johns Hopkins, Amesh Adalja, seperti dikutip Reuters, Sabtu (2/10).