Pakar Hukum Kritik Putusan MA Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang remisi koruptor pada Kamis (28/10). Akibatnya, pemberian pengurangan hukuman kini akan lebih mudah.
Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan putusan MA tersebut menunjukkan penurunan semangat untuk memberantas korupsi di kalangan Hakim Agung. Ia menyampaikan ini membuat tidak ada lagi perbedaan antara kejahatan korupsi dengan kejahatan lainnya.
Abdul menjelaskan kejahatan umum berbeda dengan korupsi yang sejak sudah dilakukan sejak level perencanaan. Maka wajar jika hukuman yang diberikan lebih berat sampai dengan pengetatan remisi.
"Karena seharusnya ketentuan PP itu diletakan sebagai upaya terakhir bagi upaya penegakan hukum untuk mengurangi keberanian melakukan korupsi, " jelas Abdul kepada katadata pada Jumat (29/10).
Tidak adanya pihak yang ketat mengawasi terutama pada penegakan hukum, ancaman hukum dan pemberatannya akan membuat paradigma korupsi kembali ke paradigma lama di mana pengawasan tidak lagi menjadi alat yang tajam untuk menghentikan korupsi.
Sebelumnya, gugatan atas ketentuan remisi diajukan oleh Subowo dan empat orang lainnya yang merupakan mantan kepala desa dan warga binaan. Mereka sedang menjalani pidana penjara di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung.
Permohonan uji materi secara spesifik dilakukan terhadap Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP No. 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan TERHADAP Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Dalam putusan yang dihadiri oleh Ketua Majelis Supandi dan dua Hakim Anggota majelis yaitu Yodi Martono dan Is Sudaryono tersebut terdapat sepuluh pertimbangan yang disampaikan dalam putusan tersebut.
Beberapa pertimbangan yang disampaikan oleh hakim adalah bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memanjarakan pelaku agar jera, akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice. Kemudian hakim menyampaikan bahwa narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan.
"Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan," bunyi pertimbangan putusan tersebut.