Perjanjian Ekstradisi Permudah Kejar Pengemplang BLBI di Singapura
Pemerintah Indonesia dan Singapura telah menandatangani perjanjian ekstradisi pada Selasa (25/1). Kesepakatan ini membuat Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) optimistis bisa mengejar para pengemplang yang bersembunyi di negeri singa tersebut.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan yang juga menjabat sebagai Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban menyebutkan terdapat beberapa obligor BLBI yang terdeteksi berada di Singapura. Selama ini Satgas BLBI kesulitan mengejar para pengemplang karena belum ada perjanjian ekstradisi RI - Singapura.
"Terus terang kami menjadi besar hati, dengan penandatangan ektradisi beberapa hal yang tidak bisa diselesaikan, kami bisa selesaikan," kata pria yang akrab disapa Rio tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (26/1).
Beberapa deret obligor BLBI yang memiliki alamat domisili di Singapura antara lain Agus Anwar, Kaharudin Ongko, Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.
Menteri Koordinator Bidang kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang hadir dalam pertemuan dengan pemerintah Singapura di Bintan, Kepulauan Riau kemarin menyatakan kesepakatan ekstradisi ini bersifat progresif, fleksibel dan antisipatif terhadap perkembangan bentuk dan modus tindak kejahatan di masa sekarang dan masa depan.
"Dengan berlakunya perjanjian ini, Indonesia akan mampu menuntaskan pelaku kejahatan di masa lampau dan siap untuk mengimplementasikan Keputusan presiden terkait Satgas BLBI," tulis Luhut lewat akun instagram pribadinya.
Perjanjian ekstradisi ini disepakati dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana menteri Singapura Lee Hsien Loong di The Sanchaya Resort Bintan, Bintan, Kepulauan Riau pada Selasa (25/01). Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly serta Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam.
Adapun perjanjian ekstradisi yang disepakati tersebut memiliki masa berlaku surut atau retroaktif 18 tahun, lebih lama dibandingkan sebelumnya 15 tahun. Perjanjian ekstradisi yang ditandatangani oleh kedua negara memungkinkan dilakukannya ekstradisi terhadap pelaku 31 jenis tindak pidana serta pelaku kejahatan lainnya yang telah diatur dalam sistem hukum kedua negara.
Selain itu, perjanjian ekstradisi buronan Indonesia – Singapura ini juga memiliki fitur khusus yang secara efektif akan mengantisipasi celah hukum dan muslihat pelaku kejahatan. Misalnya, perubahan status kewarganegaraan untuk menghindari penegakan hukum.
Dalam perjanjian ekstradisi ini, status warga negara pelaku kejahatan yang berubah tidak dapat mengecualikan pelaksanaan ekstradisi mengingat pelaksanaan ekstradisi harus dilakukan berdasarkan status kewarganegaraan pelaku ketika tindak kejahatan terjadi.
Dengan demikian, pemberlakukan perjanjian ekstradisi buronan akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak kriminal di Indonesia dan Singapura. Bagi Indonesia, pemberlakuan perjanjian ekstradisi diyakini dapat menjangkau pelaku kejahatan di masa lampau, termasuk memfasilitasi untuk pekerjaan yang dilakukan Satgas BLBI.