Proyek Satelit Dinilai Masalah Bisnis Bukan Pidana, Apa Argumennya?
Kejaksaan Agung mendapat kritik dalam pengusutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Kejaksaan diusulkan meminta pendapat keterangan ahli untuk mengukur kasus tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak.
Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW) Akhbar Hidayatullah mengatakan berdasarkan pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik Kejaksaan Agung seharusnya meminta pendapat dari pakar hukum administrasi negara sebagai keterangan ahli. Jika Kejaksaan tidak meminta pendapat ahli, maka prosedur KUHAP tersebut telah dilanggar.
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. "Harusnya penyelidikan-penyelidikan ini dimulai dari bertanya kepada ahli. Menentukan apakah ini korupsi atau tidak, apakah ini penyalahgunaan atau tidak," ujar Akbar pada Senin (31/1).
Akbar menilai, kasus ini merupakan proyek murni bisnis dan tidak memenuhi unsur pidana. Argumennya, gugatan arbitrase merupakan penyelesaian sengketa bisnis. Adapun dugaan pengusutan kerugian negara bermula dari kalahnya pemerintah dalam gugatan arbitrase.
Selain itu, pengadaan satelit tersebut merupakan penugasan Presiden Joko Widodo kepada Kemenhan dalam rapat terbatas pada 4 Desember 2015 silam.
Pengusutan kasus ini di Kejaksaan pun, kata Akbar, tidak akan membatalkan putusan arbitrase. Pemerintah sudah menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan perusahaan satelit Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar US$ 20,9 juta atau sekitar Rp 300 miliar.
Pada Juli 2019 pun RI kalah dalam gugatan arbitrase yang dilayangkan perusahaan operator satelit asal Inggris, Avanti Communications Group, dan membayar sekitar Rp 515 miliar. Sejak 2017, Avanti melayangkan gugatan dengan tudingan pemerintah Indonesia wanprestasi karena belum memenuhi kewajiban membayar sewa satelit L-band Artemis.
"Seperti mencari kambing hitam saja karena bila pun ini diusut tidak akan membatalkan (putusan arbitrase). Artinya negara tetap saja membayar kewajibannya yang diputus arbitrase itu," ujar Akbar.
Menurut Akbar, kerugian negara untuk membayar kekalahan di pengadilan aribtrase tidak bisa dibebankan kepada pihak lain alias swasta. Pemerintah disebut yang paling bertanggung jawab sebagai komitmen tidak menaati perjanjian bisnis.
Kejaksaan saat ini sedang memfokuskan penyidikan dugaan keterlibatan para petinggi dan staf PT Dini Nusa Kusuma terkait (PT DNK). DNK merupakan perusahaan ICT yang memegang Hak Pengelolaan Filing Satelit Indonesia untuk dapat mengoperasikan Satelit atau menggunakan Spektrum Frekuensi Radio di Orbit Satelit tertentu.
Kejaksaan menggeledah dua kantor DNK yang terletak di Jalan Prapanca Raya, Jakarta Selatan, dan Panin Tower Senayan City Lantai 18A Jakarta Pusat, pada Selasa (18/1). Selain itu menggeledah apartemen milik Surya Witoelar yang menjabat Direktur Utama PT DNK dan juga Tim Ahli Kemenhan.
Dari hasil penggeledahan, Kejaksaan menyita tiga kontainer plastik dokumen dan 30 barang bukti elektronik. Kejaksaan juga memeriksa para petinggi dan staf PT DNK.
Pengusutan kasus dugaan korupsi dalam proyek satelit Kemenhan ini bermula dari laporan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ke Kejaksaan belakangan ini.
Mahfud menjelaskan kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Kemenhan mengajukan diri untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT, guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015. Adapun Kominfo menerbitkan persetujuan pada 29 Januari 2016.
Sehingga saat Kemenhan membuat kontrak satelit dengan Avanti pada 2015, anggaran untuk membiayai sewa satelit belum turun. "Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud.
Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016. Padahal anggarannya pada 2015 belum tersedia. Anggaran Satkomham ini tersedia pada 2016. Namun, saat anggaran tersedia, Kemenhan melakukan "self blocking".