Independensi dan Kolaborasi Riset Kunci Iklim Riset yang Kondusif
Perkembangan iklim riset di Indonesia semakin menarik minat para praktisi, akademisi dan pemangku kepentingan lainnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi memberi mandat bahwa pengembangan bidang iptek dan inovasi harus terus berkembang sesuai dengan koridor masing-masing.
Proses hilirisasi manajemen penelitian perlu dikembangkan hingga proses komersialisasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Sejalan dengan itu, pengambilan kebijakan pun harus menjadikan bukti sebagai dasar pengambilan keputusan dengan visi yang kuat dari negara untuk memanfaatkan data dan temuan iptek sebagai basis pengambilan tindakan.
Untuk lebih mendukung masa depan penelitian Indonesia dan posisinya dalam ekosistem kebijakan berbasis bukti, Knowledge Sector Initiative (KSI) menyelenggarakan webinar dengan konsep Ruang Bincang dengan tema “Iklim Riset dan Produksi Pengetahuan di Masa Depan”.
Ruang Bincang 9 ini merupakan penutup dari Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P), salah satu rangkaian kegiatan penutupan KSI untuk menampilkan produk pengetahuan dan pencapaian mitra KSI. Konferensi K2P menghadirkan 9 sesi Ruang Bincang dan 6 sesi Titik Temu dengan 86 pembicara dan penanggap. Konferensi ini menjadi wadah pertemuan dan pertukaran diskusi untuk menekankan pentingnya integrasi pengetahuan ke kebijakan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran, serta pentingnya lembaga think tank sebagai aktor dalam proses penyusunan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis bukti di Indonesia.
Menutup rangkaian Konferensi K2P, Plt. Deputi Bidang Fasilitas Riset and Inovasi BRIN, Agus Haryono, menjelaskan kebijakan fasilitasi riset untuk riset-riset bertema kebijakan (policy research) serta proses kelaikan etik dan fasilitas pendanaan untuk riset-riset tersebut.
“Sebagai funding agency, deputi kami memberikan pendanaan untuk kegiatan riset dan inovasi. Ada tiga tingkatan fasilitas riset dan inovasi, dimulai dari pengembangan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), skema kompetisi, dan skema yang mendekati ke implementasi atau komersialisasi. Semuanya kita dorong untuk banyak berkolaborasi dengan banyak pihak.” kata Agus.
Ia menjelaskan, saat ini ada delapan jenis skema fasilitasi riset dan akan terus bertambah. Sementara itu, BRIN telah mengembangkan regulasi turunan, meskipun masih berbentuk peraturan BRIN, terkait klirens etik yang didalamnya termasuk mengenai izin peneliti asing.
“Kami berharap aturan-aturan yang sedang kami buat tidak menyulitkan bagi periset karena kami yakin kita membutuhkan kolaborasi sebesar-besarnya dengan berbagai pihak.” imbuh Agus.
Lebih lanjut, Direktur Pendidikan Tinggi dan IPTEK, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Tatang Muttaqin, menyampaikan tentang proses teknokratis dalam mengonsolidasikan kebijakan berbasis bukti.
“Dari riset kebijakan, secara regulasi ada irisan antara UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Sisnas IPTEK, Bappenas mengonsolidasikan dan BRIN melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi. Dalam dua proses tersebut yang dikenal dengan proses teknokratis agar kebijakan berbasis bukti dapat dikonsolidasikan, titik temu ini yang kita cari dan akan menjadi sebuah tradisi untuk menghasilkan policy terbaik untuk berkontribusi pada peningkatan ekonomi.” kata Tatang.
Selain itu, Kepala Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Trina Fizzanty, juga menjelaskan bagaimana BRIN memanfaatkan peran strategisnya dalam menjembatani kolaborasi antar periset BRIN dan periset eksternal, seperti lembaga-lembaga riset independen yang ada di Indonesia.
“Kami melihat kehadiran lembaga riset independen (LRI) adalah sebuah aset bagi nasional, karena tidak hanya bergerak dari sisi diseminasi dari pengetahuan ke kebijakan tetapi juga menghasilkan pengetahuan. Kolaborasi diperlukan agar kita dapat memberikan evidence yang solid bagi pembuat kebijakan.” kata Trina.
Ia menjelaskan bahwa BRIN memiliki rumah program yang didesain untuk bisa menjawab persoalan strategis nasional. “Mengenai metode, tidak perlu dikhawatirkan di dalam rumah program karena dijaga dengan proses manajemen kualitas dari proses producing knowledge. Komite etik juga telah menjadi bagian dari proses bisnis rumah program.” imbuh Trina.
Sebelumnya, Ruang Bincang 9 dimulai dengan pemaparan benang merah dari delapan Ruang Bincang dalam rangkaian Konferensi K2P. Dalam menyampaikan hal tersebut, Advisor Center for Innovation and Policy Governance (CIPG), Yanuar Nuhgroho menggarisbawahi aspek-aspek kolaborasi sebagai bagian yang telah didiskusikan di delapan Ruang Bincang Konferensi K2P.
Bersama Yanuar, Sekretaris SMERU, Heni Kurniasih, kemudian menjelaskan terkait Memo Bersama 18 Lembaga Riset Kebijakan terkait independensi riset dan produksi pengetahuan Indonesia sebagai hasil dari diskusi terarah yang dilakukan sebelumnya, “Dua hal inti yang kami diskusikan dan kami gagas adalah kolaborasi dan independensi.” ujar Trina.
Kolaborasi memerlukan kemitraan untuk mendorong kebijakan berbasis bukti. Kehadiran LRI bisa melengkapi peran BRIN terutama dalam bidang sosial-humaniora yang menjadi bidang hilir translasi knowledge untuk kebijakan. Sementara itu, independensi riset yang ingin dibangun memiliki lima prinsip, diantaranya keleluasaan bagi pelaku riset dalam menentukan sendiri topik, tujuan, metodologi, dan bagaimana riset dilakukan; riset dilakukan mengikuti metodologi yang ditetapkan sejak awal, terlepas dari apa pun hasil risetnya; metodologi dan proses yang dipertanggungjawabkan; kelaikan etik sejak awal proses riset; serta keleluasaan bagi pelaku riset untuk memilih subjek riset.
Yanuar menyampaikan empat rekomendasi yang disampaikan dalam memo tersebut. “Pertama, perlunya kebijakan untuk melindungi dan menjamin independensi bagi peneliti. Kedua, kebijakan ini perlu dituangkan dalam kerangka regulasi sebagai turunan dari UU Sisnes Iptek. Ketiga, kebijakan ini diimplementasikan dalam kerangka kelembagaan yang mengacu pada amanat UU Sisnas Iptek. Dan yang terakhir adalah perlunya menetapkan mekanisme akuntabilitas.” ujar Januar.
Independensi riset merupakan faktor penting dalam memproduksi pengetahuan yang akuntabel. Pada akhirnya, instansi pemerintah dan lembaga think tank perlu menjalankan perannya masing-masing sekaligus menjalin kolaborasi guna meningkatkan kualitas riset di Indonesia. Independensi dan kolaborasi menjadi aspek kunci untuk membentuk iklim riset yang kondusif untuk masa depan Indonesia.