PPATK Pantau Aliran Dana Ilegal Terkait Kejahatan Lingkungan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperluas komitmennya dengan mencanangkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada bidang lingkungan hidup, atau yang lebih dikenal dengan istilah Green Financial Crime (GFC).
Komitmen ini disampaikan seiring peringatan 20 tahun terbentuknya rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT). Rezim ini telah membentuk Komite Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yang terdiri dari 16 lembaga pemerintah. Mereka berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Menurut Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, seiring perkembangan zaman, tindak pidana asal dari TPPU terus berkembang dan kini termasuk juga tindak pidana lingkungan hidup.
"Peran PPATK adalah berupaya memastikan bahwa integritas sistem keuangan Indonesia tidak dikotori oleh aliran uang yang berasal dari tindak pidana lingkungan hidup," ujar Ivan saat membuka Silaturahmi Nasional Dua Dekade APUPPT, di Kantor PPATK, Jakarta, Selasa (29/3).
Hal ini dilakukan PPATK sebagai upaya untuk mendukung komitmen Presiden Joko Widodo yang memberikan perhatian khusus dalam membangun ekonomi berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan dan pencegahan TPPU pada bidang lingkungan hidup, Ivan mengajak semua pihak untuk terus bekerja sama. Sebab, seiring perkembangan zaman, pelaku kejahatan pun meningkatkan kapabilitas mereka dalam mencari peluang untuk mencari keuntungan pribadi.
"Kita menghadapi pelaku pencucian uang yang dinamis dan memanfaatkan celah-celah pada sistem jasa keuangan kita," ucap Ivan.
Berdasarkan data Financial Action Task Force (FATF), organisasi antar pemerintah yang didirikan pada 1989 untuk memerangi pencucian uang, pada 2021 kejahatan lingkungan menjadi salah satu kejahatan paling besar di dunia dengan kerugian secara global diperkirakan mencapai Rp 1.540 triliun.
Sementara di Indonesia, PPATK mencatat kerugian dalam bentuk penerimaan negara yang hilang akibat pertambangan ilegal mencapai Rp 38 triliun per tahunnya. Kemudian terkait pembalakan liar, sekitar Rp 38 miliar per hari, dan dari illegal fishing mencapai Rp 56 miliar per tahun.