Selain Sanksi! Publik Butuh Komunikasi dan Edukasi Hadapi Pandemi
Indonesia telah memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19 dan dianggap cukup berhasil melewati masa-masa sulit selama pandemi. Saat ini kasus Covid-19 di Indonesia tengah menunjukkan penurunan.
Data Satgas Covid-19 pada Senin, 25 April 2022 menunjukkan kasus baru bertambah 317, lebih rendah dibanding hari sebelumnya 382. Sementara itu kasus sembuh bertambah 4.664 menjadi 5.875.083.
Secara akumulatif kasus aktif turun 4.380 menjadi 13.251, lebih besar jika dibandingkan angka kasus aktif yang turun pada Minggu, 24 April 2022, sebesar 1.819 kasus, sehingga kasus secara akumulatif bertengger pada 17.631 kasus.
Meski kasus menunjukkan tren penurunan, masyarakat diharapkan tidak lengah dan tetap menjaga kesehatan karena ancaman dari virus Covid-19 belum sepenuhnya hilang.
Terlebih, masyarakat akan menghadapi libur Lebaran yang berpotensi meningkatkan kembali angka penularan. Di sinilah peran penting komunikasi risiko yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat.
Membahas hal ini, Katadata bekerja sama dengan Pemerintah Australia melalui program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menggelar diskusi terbatas bersama Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota bertajuk “Komunikasi Risiko dalam Krisis Kesehatan dan Penerapannya pada Momen Lebaran”.
Diskusi terbatas ini digelar secara daring melalui Zoom pada Selasa 26 April 2022 pukul 10:00 hingga 12:00 WIB.
Sejumlah narasumber hadir dalam diskusi tersebut, yaitu Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha Ph.D, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan drg.Widyawati, serta Peneliti Senior Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gajah Mada Dwie Susilo MBA MPH.
Diskusi yang dipandu oleh Mulya Amri Ph.D dari Katadata Insight Center ini dibuka dengan sambutan dari Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha Ph.D.
Dalam sambutannya, Kunta memaparkan bahwa 73 persen masyarakat telah menerima vaksin dosis pertama, 65 persen telah menerima vaksin dosis kedua, dan 15 persen telah menerima vaksin dosis ketiga atau booster.
Mengenai komunikasi risiko, Kunta mengharapkan adanya strategi yang tepat yang digunakan oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah kepada masyarakatnya, khususnya selama momen mudik Lebaran.
“Komunikasi risiko ini diharapkan bisa dilakukan melalui penyampaian informasi dan edukasi dengan narasi yang mudah dipahami dan juga diterima oleh masyarakat,” ujarnya.
Ia lantas menambahkan bahwa strategi yang sama juga harus mampu meredam beredarnya berita hoax terkait kesehatan.
“Oleh karena itu marilah kita terus melindungi masyarakat dengan membangun sistem komunikasi yang kuat dan berkoordinasi dengan berbagai pihak,” dia menambahkan.
Lebih lanjut, Kunta mengingatkan pentingnya mengubah pola pikir masyarakat terhadap penyakit dari kuratif menjadi promotif-preventif menuju masyarakat yang sehat.
Sejalan dengan itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan drg.Widyawati juga menegaskan bahwa strategi komunikasi risiko harus teliti, efektif, efisien, dan sinergis dengan melibatkan kementerian dan lembaga-lembaga lain.
Menurut dia, strategi komunikasi berperan penting dalam mendukung perencanaan dan pelaksanaan mudik lebaran agar lebih cepat dalam pelayanan dan antisipatif.
Widyawati juga memaparkan tujuan komunikasi yang meliputi membangun pemahaman publik untuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan, menjaga kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan,
“Pemerintah juga telah terus mendorong masyarakat untuk melakukan vaksinasi sebelum mudik, serta menggalang partisipasi semua pihak yang terlibat dalam mudik lebaran,” ujar Widyawati.
Sasaran dari komunikasi risiko meliputi pemudik, pengemudi kendaraan pribadi dan umum, pelaku bisnis wisata, petugas lapangan dari berbagai unsur, seperti POLRI, TNI, Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan, serta fasilita pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan.
Komunikasi risiko juga dilakukan melalui berbagai media.
Widyawati lantas mencontohkan bahwa Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai wawancara dengan media, menghadiri talkshow di televisi dan radio, dan bekerja sama dengan media untuk lakukan peliputan di lapangan.
“Ada berita, artikel (dan) advertorial di media online dan cetak, publikasi konten di website, di radio, sampai kepada penyebarluasan materi KIE di media luar ruang di tempat publik.”
Widyawati juga menampilkan sejumlah video reels dan TikTok yang menampilkan Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin berbicara mengenai pentingnya vaksinasi dan protokol kesehatan.
Penelitian tentang vaksinasi yang dilakukan oleh peneliti senior dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada Dwie Susilo MBA MPH, juga membuktikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi cukup tinggi.
“Masyarakat sudah menaruh kepercayaan kepada program pemerintah dan mereka menerima vaksin apapun yang tersedia,” kata Dwie.
Dwie melanjutkan bahwa sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa pemerintah tidak mungkin bohong, sehingga tidak mungkin melakukan kejahatan kepada masyarakat.
“Mayoritas informan kami menaruh kepercayaan penuh pada pemerintah.”
Dwie juga menambahkan sejumlah faktor lain yang mendorong masyarakat bersedia divaksin yakni lokasi yang dekat dengan tempat tinggal, serta tersedianya layanan khusus seperti vaksin door to door dan vaksin drive thru.
Terkait komunikasi risiko, Dwie mengungkapkan bahwa masyarakat membutuhkan pendekatan promotif melalui komunikasi yang bersifat persuasif dan kaya informasi.
“Publik tidak suka dengan sanksi dan ancaman. Misalnya, ‘kamu kalo gak vaksin nanti gak dilayanin atau bansosmu nanti dihentikan atau ditahan’, itu mereka gak suka,” ujar Dwie.
Ia juga menjelaskan bahwa komunikasi harus dilakukan dalam berbagai metode seperti tatap muka, gambar, teks, atau video yang dilengkapi dengan running text atau bahasa isyarat.
Tujuannya adalah mengakomodir berbagai pihak seperti kelompok masyarakat tuli atau penyandang disabilitas lainnya.
Pada akhir diskusi, berbagai pertanyaan menarik muncul. Salah satunya berasal dari Plt Kepala Dinkes Gowa, Taufiq, yang menanyakan apakah tren positif masih tetap perlu diberitakan kepada masyarakat, mengingat jumlah kasus penularan yang cenderung melandai.
Ia khawatir jika tren positif itu justru malah akan membuat masyarakat menjadi lengah.
Menjawab hal ini, Widyawati mengusulkan bahwa informasi positif harus tetap wartakan, tapi disertai himbauan, pemantauan, dan edukasi agar kondisi tersebut tetap dapat terjaga.
Made Dwipayana dari Dinas Kesehatan kota Jembrana menambahkan bahwa selain upaya-upaya di atas, pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh religius juga berperan penting, dalam mempengaruhi masyarakat untuk tetap patuh pada peraturan.