MK Tolak Uji Materi Nikah Beda Agama, Ini 5 Pertimbangan Hakim
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan E. Ramos Petege atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam permohonannya Ramos yang merupakan pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua meminta MK membatalkan pasal yang melarang pernikahan beda agama.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa (31/1).
Meski memutuskan menolak, namun dua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI yakni Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Kedua hakim memiliki pertimbangan berbeda dalam melihat gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang diajukan pemohon terkait perkawinan beda agama.
Dalam pokok permohonan yang dibacakan ulang Hakim Arief Hidayat, Ramos menyampaikan sejumlah dalil yang menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang merupakan ketetapan atau takdir tuhan.
“Setiap orang berhak untuk menikah dengan siapapun juga terlepas dari perbedaan agama,” tulis Ramos dalam permohonannya.
Ramos juga mengatakan negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama. Selain itu ia menyebut negara juga seharusnya bisa memberikan suatu solusi bagi pasangan beda agama.
Alasan yang dijadikan dasar menggugat UU Perkawinan adalah karena menilai isi dari Pasal 2 Ayat (1) telah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dengan apa yang dimaksud dengan "hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu". Menurut pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia melangsungkan perkawinan beda agama termasuk adanya penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil.
Ramos menyebutkan, apabila perkawinan hanya diperbolehkan dengan yang seagama hal ini bisa mengakibatkan negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya. Ia juga mengatakan pasal 2 Ayat (2) menimbulkan tafsir bagi pelaksana UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi berbagai tafsir dalam hukum agama, dan kepercayaan masing-masing untuk menghindari perkawinan beda agama.
Beda Pertimbangan Hakim MK
Menanggapi permohonan dari Ramos, hakim MK telah menetapkan menolak seluruh poin gugatan dengan adanya pendapat berbeda dari dua hakim. Adapun pertimbangan hakim yang muncul dalam menetapkan putusan atas permohonan Ramos adalah sebagai berikut:
1. Falsafah Bangsa
Hakim MK Enny Nurbaningsih membenarkan bahwa menentukan pilihan dalam pernikahan merupakan hak asasi manusia yang diakui Indonesia. Hak itu tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Meskipun demikian, Eny mengatakan hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
2. Konstruksi jaminan
Lebih jauh Enny menjelaskan dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan perkara, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945. Pasal 16 Ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit bahwa laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.
Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B Ayat (1) yang menyebutkan "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Berdasarkan rumusan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada dua hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
3. Kebebasan Beragama
Hakim Suhartoyo memiliki pertimbangan berbeda dalam melihat gugatan mengenai nikah beda agama. Menurut dia, dasar hukum sahnya perkawinan dan kebebasan/kemerdekaan memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing diatur dalam ketentuan norma sebagai berikut.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berikutnya, Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi-tiap-tiap perkawinan dicatat menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Ayat (2) berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, Hakim Suhartoyo mengatakan mengacu pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa yang menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara penganut sekularisme. Sedangkan pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
"Ketiga dasar hukum tersebut menjadi bentuk konkret negara di dalam memaknai hakikat perkawinan dan juga negara di dalam menjamin kebebasan masyarakat dalam memilih dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing," kata Suhartoyo.
4. Pluralitas Beragama
Lebih jauh hakim Suhartoyo mengatakan bahwa dasar hukum kebebasan beragama di Indonesia secara filosofi dibangun karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara plural. Indonesia memiliki keragaman suku, budaya, ras, agama dan kepercayaan.
Berkaitan dengan norma yang diuji dalam perkara a quo, keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu regulasi yang sama berpotensi saling melemahkan. Bahkan dia menilai keberlakuan norma hukum dan norma agama secara aktual maupun potensial bertentangan.
5. Pola Kebiasaan
Hakim Daniel Yusmic P. Foekh juga memiliki pendapat berbeda mengenai keputusan soal nikah beda agama. Ia berkeyakinan persoalan perkawinan beda agama adalah sebuah persoalan yang secara nyata ada dan patut diduga terus berlangsung sampai sekarang serta di masa-masa yang akan datang.
Daniel menyebut, terdapat beberapa pola yang warga negara lakukan untuk melakukan perkawinan beda agama. Pertama, melakukan perkawinan di luar negeri. Ada juga motif salah satu mempelai dari pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama untuk sementara berpindah agama mengikuti agama pasangannya.
Pola ketiga adalah melangsungkan perkawinan sebanyak dua kali dimana perkawinan pertama, misalnya, mengikuti agama calon suaminya dan setelah itu menikah lagi (perkawinan kedua) menurut agama dari istrinya atau sebaliknya.
"Ketiga pola tersebut di satu sisi dianggap semacam bentuk penyelundupan hukum terhadap perkawinan beda agama, namun di sisi yang lain merupakan langkah 'terobosan' sendiri dari pasangan calon perkawinan yang beda agama karena ketiadaan hukum perkawinan beda agama," jelas dia.