DPR Tagih Komitmen DJSN Hapus Kelas Rawat Inap Peserta BPJS Kesehatan
Penghapusan kelas layanan perawatan rawat inap peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan di rumah sakit belum akan diimplementasikan dalam waktu dekat. Hal tersebut disebabkan belum adanya dukungan politik dari DPR dalam rapat kerja dengan Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN, dan BPJS Kesehatan.
Tidak adanya dukungan politik tersebut disebabkan oleh Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN Andie Megantara dalam beberapa kali raker dengan DPR. Pada rapat kerja Kamis (9/2) DJSN mengirimkan Ketua Komisi Kebijakan Umum Mickael Bobby Hoelman mengikuti raker.
"Ketidakhadiran Ketua DJSN yang berulang kali dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR menghambat perbaikan kebijakan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional," demikian tertulis dalam kesimpulan raker Komisi IX DPR hari ini, Kamis (9/2).
Ketidakhadiran Ketua DJSN membuat tujuh dari sembilan fraksi yang tergabung dalam Komisi IX DPR memutuskan untuk tidak melanjutkan raker tersebut. Alhasil, pembahasan terkait implementasi penghapusan kelas layanan perawatan rawat inap tidak rampung.
Dalam penjelasannya, Andie tidak menghadiri raker dengan DPR pada Kamis kemarin karena menghadiri Puncak Hari Pers Nasional di Medan, Sumatera Utara. Komisi IX DPR menemukan Andie menghadiri acara tersebut untuk mendampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Dalam kesimpulan rapati, Komisi IX DPR akan mengundang paksa Andie jika kembali mangkir dari panggilan rapat dengar pendapat maupun rapat kerja. Dengan kata lain, Andie akan dijemput oleh aparat penegak hukum ke DPR jika tidak memenuhi undangan legislator.
"Komisi IX DPR akan melakukan pemanggilan paksa Ketua DJSN dengan menggunakan Kepolisian sesuai ketentuan Pasal 73 Ayat (4) UU No. 18-2014 tentang MPR," tulis Komisi dalam kesimpulan rapat.
Seperti diketahui, kelas pelayanan perawatan rawat inap akan diimplementasikan jika program Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS diimplementasikan. Kemenkes menemukan mayoritas rumah sakit mendapatkan manfaat dari pemenuhan syarat-syarat KRIS.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono melaporkan mayoritas angka okupansi tempat tidur atau BOR, indeks kepuasan masyarakat atau IKM, dan pendapatan rumah sakit uji coba mengalami peningkatan. Dante mengatakan uji coba implementasi KRIS dilakukan pada 10 rumah sakit. Menurutnya, pengurangan tempat tidur di rumah sakit berdampak signifikan pada angka BOR mayoritas rumah sakit.
"Pendapatan rumah sakit juga tidak berkurang dengan menerapkan implementasi KRIS ini. Kepuasan masyarakat meningkat dengan enam tempat tidur di kelas tidak menjadi empat tempat tidur," kata Dante dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Kamis (9/2).
Implementasi KRIS tertuang dalam Peraturan Pemerintah atau PP No. 47-2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Secara sederhana, KRIS akan meniadakan kelas pelayanan saat di rawat di ruang non intensif rumah sakit.
Sebelumnya, layanan perawatan di ruang intensif dibagi menjadi kelas 1-3, kelas VIP, dan kelas VVIP. Pada KRIS, kelas 1-3 ditiadakan, sementara kelas VIP dan VVIP tetap boleh disediakan rumah sakit.
Selain itu, jumlah tempat tidur pada KRIS maksimal berjumlah empat tempat tidur per ruangan. Artinya, standar seluruh ruangan non-intensif akan sama dengan standar pelayanan kelas dua.