Beda Pendapat Hukum Soal Nasib Karier Richard Eliezer di Kepolisian
Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E akan menghadapi sidang etik yang digelar Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri. Sidang etik ini akan menentukan nasib karier Richard Eliezer di kepolisian.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo menjelaskan sidang etik digelar sebagai tindak lanjut putusan pengadilan. “Dasar dari putusan pengadilan ini sebagai pertimbangan hakim komisi kode etik profesi yang akan mengambil keputusan secara kolektif kolegial,” kata Dedi kepada wartawan, Kamis (16/2).
Majelis hakim memvonis Richard Eliezer atau Bharada E dengan hukuman penjara 1 tahun dan 6 bulan dalam perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J pada Rabu (15/2). Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yakni 12 tahun bui.
Putusan komisi kode etik Polri dalam menjatuhkan sanksi kepada anggota Polri yang terlibat tidak pidana mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 dan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Polri dan Komisi Kode Etik.
Dalam memutuskan nantinya, kata Dedi, komisi kode etik Polri juga akan mempertimbangkan banyak hal, salah satunya status Richard Eliezer sebagai justice collaborator (JC) yang telah dikabulkan oleh pengadilan.
Ada dua pendapat ahli hukum yang berbeda mengenai nasib karier Richard Eliezer di kepolisian. Pendapat pertama menyatakan Eliezer masih memiliki kesempatan melanjutkan karier di kepolisian. Sebaliknya pendapat berbeda menyatakan karier Richard tamat seiring putusan pengadilan.
Berikut argumen dua pendapat berbeda mengenai nasib karier Richard Eliezer:
1. Argumen Karier Richard eliezer Bakal Berlanjut di Kepolisian
Peneliti ASA Indonesia Institute Reza Indragiri Amriel mengatakan Richard Eliezer berpeluang kembali ke kepolisian karena menerima hukuman di bawah dua tahun.
Menurut Reza, pada masa Tito Karnavian menjabat Kepala Kepolisian RI. Tito pernah menetapkan batas hukuman pidana maksimal dua tahun bagi personel kepolisian yang berlanjut dengan pemecatan personel Polri secara tidak hormat. Hal itu pernah disampaikan Tito saat kasus korupsi Raden Brotoseno mencuat pada 2016.
Berdasarkan penelurusan Katadata.co.id, bila merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian pasal 22 disebutkan bahwa sanksi administratif berupa rekomendasi pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH dikenakan untuk tindak pidana penjara 4 tahun atau lebih. Pemecatan akan ditentukan dalam sidang Komite Etik.
Selain itu, Reza memuji keberanian Richard Eliezer memilih menjadi saksi pelaku atau justice collaborator dalam perkara Brigadir J. Ia berharap keberanian Eliezer bisa menjadi catatan di kepolisian.
"Dia (Eliezer) meletakkan dasar bagi perlunya pembudayaan whistleblowing di internal Polri," ujar Reza.
2. Argumen Karier Richard Eliezer Bakal Tamat di Kepolisian
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut, peluang Richard Eliezer untuk kembali menjadi anggota Polri sudah tertutup.
Dia merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri. "Peluang kembali menjadi anggota Polri maupun PNS Polri untuk seorang anggota yang sudah divonis pidana itu sudah tertutup,” kata Bambang.
Menurut Bambang, Richard Eliezer harus legowo diberhentikan dari Polri. Apa yang dialami oleh Richard sebagai risiko dari seorang bawahan dalam menjalankan perintah atasan.
Pengalaman Richard menjalankan perintah atasannya untuk menembak rekannya sendiri, hendaknya menjadi pembelajaran bagi personel Polri lainnya, agar meletakkan kepatuhan kepada aturan bukan kepada perintah atasan.
“Ini harus menjadi pelajaran semua personel Polri, dalam kondisi bukan perang, atau di medan operasi keamanan agar tegak lurus pada aturan bukan pada perintah atasan,” ujar Bambang.
Adapun status Richard sebagai justice collaborator (JC) atau pengungkap fakta telah disetujui oleh hakim. Ini yang menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan hukuman.
Namun, dalam sidang etik, kata Bambang, pilihan Richard untuk patuh kepada atasannya dengan menjalankan perintah menembak rekannya sendiri sebagai bentuk ketidakprofesionalan sebagai polisi.
“Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional,” katanya.
Dia juga menyatakan apabila Richard Eliezer tidak dijatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) oleh komisi etik Polri maka hal itu dapat menjadi preseden buruk. "Bahwa personel pelaku tidak pidana bisa diterima sebagai anggota Polri dengan alasan sekedar menerima perintah atasan," kata dia.
Meski demikian, kata Bambang, perjuangan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku tidak sia-sia. “Tak ada yang sia-sia. Perjuangan dia akan dicatat dalam sejarah sebagai tumbal atasannya," kata dia.