Fakta Kasus Jual Beli Ginjal: 122 Orang Jadi Korban, Libatkan Aparat
Polda Metro Jaya telah menetapkan 12 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan perdagangan organ ginjal internasional. Basis kejahatan tersebut disinyalir berpusat di Kecamatan Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat.
Seperti dilansir dari Antara, 10 orang dari tersangka tersebut merupakan bagian dari sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO. Sementara itu, sembilan dari 10 orang tersebut merupakan mantan pendonor ginjal yang akhirnya menjadi perekrut.
"Sedangkan dua orang di luar sindikat merupakan pihak kepolisian dan pihak imigrasi," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Hengki Haryadi yang dikutip dari Antara pada Senin (24/7).
Korban 122 Orang
Dalam penangkapan tersebut, Kepolisian meringkus sejumlah barang bukti berupa 18 kartu ATM beserta buku tabungan, 16 paspor, 15 buah ponsel, dan uang tunai senilai Rp 950 juta. Seluruh tersangka tersebut diduga bagian dari jaringan internasional TPPO antara Indonesia dan Kamboja.
Jumlah korban dalam kasus jual beli ginjal ini mencapai 122 orang. Menurut korban yang tak ingin disebutkan namanya, modus yang digunakan tersangka adalah menawarkan pekerjaan sebagai telemarketer di Dubai, Uni Emirat Arab.
Gaji yang ditawarkan kepada korban adalah US$ 800 atau setara dengan Rp 12 juta per bulan. Namun, korban justru ditempatkan di Thailand alih-alih Dubai.
Setelah tiga hari bermalam di Thailand, korban diberangkatkan ke Distrik Mae Sot, Myanmar. Setibanya di sana, paspor para korban dirampas dan diancam harus membayar Rp 110 juta untuk kembali ke Tanah Air.
Tersangka Polisi dan Pekerja Imigrasi
Hengki menyampaikan oknum yang berasal dari Kepolisian adalah laki-laki berumur 48 tahun berinisial M alias D dengan pangkat Aipda. Sementara itu, tersangka dari pihak imigrasi berinisial AH alias A.
Hengki menceritakan M terlibat dalam jaringan tersebut setelah menyetujui untuk menyelesaikan perkara yang dialami tersangka. Atas jasa tersebut, M ditemukan menerima imbalan senilai Rp 162 juta.
"Aipda M berperan menyuruh tersangka mematikan ponsel, menyarankan membuang handphone, dan mengganti nomor baru tersangka, serta menyuruh untuk berpindah-pindah penginapan," kata Hengki.
Oleh karena itu, Hengki menjerat M dengan Pasal 22 Undang-Undang No. 21-2007 tentang TPPO juncto pasal 221 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Perintangan Penyidikan. Secara total, M diancam bui paling lama 5 tahun 9 bulan dan denda paling banyak lebih dari Rp 200 juta.
Di samping itu, AH menerima tugas untuk membantu meloloskan korban saat pemeriksaan imigrasi. Hengki menemukan AH mendapatkan imbalan hingga Rp 3,5 juta per korban.
Artinya, AH mendapatkan imbalan hingga Rp 427 juta atas seluruh korban tersebut. Hengki berencana menjerat AH dengan Pasal 8 UU TPPO dengan ancaman bui maksimal 75 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar.
Lulusan S2 Jadi Korban
Hengki menjelaskan motif para korban hingga mau menjual ginjalnya adalah perekonomian setelah terdampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu, profesi maupun jenjang pendidikan para korban cukup beragam.
"Para korban berasal dari berbagai profesi, seperti pedagang, guru, buruh, sekuriti, bahkan ada yang lulusan S2," ujarnya.
Menurut laporan Transnational Crime and the Developing World yang dirilis Global Financial Integrity (GFI), setiap tahunnya ada sekitar 12 ribu organ tubuh manusia yang diperdagangkan secara ilegal di seluruh dunia.
Adapun nilai total transaksinya diperkirakan berkisar antara US$840 juta hingga US$1,7 miliar per tahun. Khusus ginjal, GFI menemukan hampir 8.000 ginjal manusia diperdagangkan di pasar gelap internasional.
Adapun, harga per ginjal dilego paling murah US$ 50.000 atau sekitar Rp 751 juta per unit. Sementara itu, harga ginjal termahal mencapai US$ 120.000 atau setara dengan Rp 1,8 miliar per buah.