Rammang-Rammang: Jadi Jantung Perekonomian Masyarakat Kampung Berua
Sinar matahari menegaskan keelokan Kampung Berua, Desa Sanlerang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Angin berhembus dengan tenang, menyambut pohon-pohon yang tumbuh lebat di sana.
Di kampung yang hanya berjumlah 21 kartu keluarga ini, terdapat geowisata Rammang-Rammang dengan keindahan alamnya yang menakjubkan, khususnya keindahan floranya. Nama Rammang-Rammang berasal dari bahasa Makassar yang bermakna awan atau kabut. Keindahannya lebih terasa saat menelusuri Sungai Pute menggunakan peuijjkirahu alias perahu motor.
Ketika perahu motor mulai melewati air Sungai Pute yang tenang selama dua menit, terlihat pemandangan pergunungan Karst. Karst merupakan pegunungan, yang terbentuk dari proses pelarutan suatu kawasan batuan karbonat atau batuan mudah terlarut.
Selain pegunungan Karst, mata akan dimanjakan dengan mangrove yang sangat rimbun dan nipah yang tumbuh nan subur. Tidak beberapa lama kemudian, perahu motor melewati goa gugusan Karst yang cekung. Eloknya alam Rammang-Rammang, tak mengherankan jika tempat ini dinobatkan sebagai 75 desa wisata terbaik dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023.
Kondisi jalan di Kampung Berua yang menjadi lokasi wisata Rammang-Rammang, hanya selebar langkah kaki orang dewasa atau sedikit lebih luas dari pematang sawah. Sisanya masih terdapat jalan bebatuan. Di sana, tersebar rumah-rumah warga yang jaraknya agak berjauhan satu dengan yang lainnya.
Pemilik penginapan sekaligus salah satu warga di Rammang-Rammang Naharuddin bercerita kepada Katadata.co.id tentang tempat ini dan harapan warganya. Sambil menikmati suasana Rammang-Rammang, Naharuddin mengungkapkan, dahulu terdapat tiga perusahaan tambang batu dan marmer di lokasi tersebut.
Pria berusia 42 tahun ini mengatakan, ketiga perusahaan itu mengancam kelestarian alam yang ada di Rammang-Rammang, khususnya di kawasan Karst. Apalagi, di pegunungan Karst tedapat situs-situs bersejarah penting, sebut saja Situs Batu Tianang, Situs Karama, dan Situs Pasaung.
"Tiga tambang yang pernah masuk berada di Gunung Barakha, dalam bahasa Indonesianya Gunung Berkah," kata Naharuddin baru-baru ini.
Namun dengan kegigihan warga Desa Sanlerang untuk menolak tiga perusahaan tambang batu dan marmer, akhirnya perusahaan berhenti beroperasi dengan dicabutnya izin oleh pemerintah Kabupaten Maros pada 2013.
Sampai saat ini, Naharuddin dan warga Rammang-Rammang selalu berusaha menjaga kelestarian alam. Walaupun wilayah tersebut merupakan wilayah pariwisata, Naharuddin yang juga menjadi pemandu wisatawan mengatakan tidak ingin para pendatang merusak alam yang ada di Rammang-Rammang.
Hal ini dikatakan Naharuddin karena keprihatinannya dengan tempat pariwisata lain di beberapa daerah yang rusak akibat ulah wisatawan yang tidak mengindahkan aturan. Selain itu, tidak terdapat aturan mengenai batasan-batasan untuk para wisatawan.
"Kami selalu mengedukasi para wisatawan yang ingin menikmati alam Rammang-Rammang. Khususnya kalau mau mengunjungi situs-situs bersejarah," tuturnya.
Naharuddin bercerita, jika wisatawan sangat jarang mengunjungi situs Batu Tianang maupun situs Karama. Kecuali, kalau diantar oleh penduduk lokal untuk memandu dan mengantar mereka ke situs tersebut. Lain dengan Rammang-Rammang, aturan ketat diberikan kepada wisatawan yang ingin mengunjungi situs bersejarah itu dan wajib untuk didampingi.
"Situs-situs itu sudah masuk wisata minat khusus sebenarnya dan harus diedukasi dulu. Termasuk tidak boleh memotret memakai cahaya kamera, merokok, menyentuh karena mempercepat pelapukan gambar-gambar yang ada di dinding gua," sebutnya.
Sampah Plastik, Pupuk Guano, dan Bisnis Homestay Jadi Kekuatan Ekonomi Masyarakat Rammang-Rammang
Keindahan Rammang-Rammang yang menghipnotis pengunjungnya, tidak lepas dari masalah yang kerap terjadi di beberapa tempat wisatawan yaitu sampah. Walau pengunjung merasakan indahnya Rammang-Rammang yang mempesona, tidak dipungkiri jika beberapa di antara mereka lupa untuk menjaga kebersihan.
Setiap tahun, kata Naharuddin, objek wisata Rammang-Rammang didatangi ratusan hingga ribuan pengunjung dari mancanegara maupun lokal. Namun sayangnya sejumlah pengunjung masih belum memiliki kesadaran dalam menjaga kebersihan, seperti untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Untuk menekan jumlah sampah plastik, masyarakat membuat ecobrick yang ternyata sangat bermanfaat bagi mereka. Sebagai informasi, ecobrick adalah botol plastik yang diisi padat dengan limbah non-biological seperti sampah plastik. Botol plastik ini digunakan untuk membuat blok bangunan. Naharuddin menjelaskan masyarakat Rammang-Rammang sempat menggunakan ecobrick sebagai alat pembayaran.
Dia menceritakan masyarakat yang membutuhkan peralatan rumah tangga, bisa menyicil pembayaran dengan menggunakan ecobrick. Di Rammang-Rammang, ecobrick digunakan untuk membuat lantai pengganti batu bata dengan harga Rp 1.000 per botol.
“Jadi ibu rumah tangga yang butuh sesuatu, misalnya kompor gas, nanti komunitas yang belikan. Harga kompor gas misalnya Rp 500.000, mereka nanti bayar dengan menyicil tapi tidak pakai uang,” tuturnya.
Ibu rumah tangga biasanya membuat ecobrick di rumah mereka dan dibawa kepada komunitas. “Kalau mereka bawa 100 botol, berarti Rp 100.000 utangnya yang sudah lunas. Dan tidak ada jatuh tempo kapan mereka harus melunasi cicilannya,” katanya.
Pupuk Guano
Selain itu, Naharuddin mengatakan ada kekayaan lain yang terdapat di Rammang-Rammang yaitu kotoran kelelawar yang berasal dari gua kelelawar di pegunungan Karst. Dia mengatakan kotoran kelelawar dapat menjadi pupuk yang bernama pupuk guano. Pupuk guano sangat bermanfaat bagi hasil pertanian masyarakat di sana.
“Kotoran kelelawar ini kami buat pupuk, kami kerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa atau Bumdes,” jelasnya.
Hadirnya pupuk ini, katanya, bukan untuk dikomersilkan atau dijual. Awal mula pupuk ini muncul karena keresahan masyarakat yang merasakan langkanya pupuk bersubsidi dari pemerintah. Untuk itu, salah satu komunitas di sana membuat solusi untuk membuat pupuk guano.
Jadi tujuan utama dari solusi tersebut, hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sana yang tidak terpenuhi kebutuhan pupuknya dari pemerintah.
“Ada sejumlah petani yang tidak tercatat dalam kelompok tani dan mereka tidak punya subsidi, lalu kami akhirnya memperkenalkan pupuk alami yaitu pupuk guano,” kata Naharuddin.
Alasan lainnya, komunitas memperkenalkan pupuk alami untuk mengedukasi masyarakat Desa Sanlerang dan mengubah pola bertani. Dia menceritakan sebagian dari mereka menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Diharapkan setelah adanya edukasi dapat kembali ke pertanian organik.
Nantinya hasil dari pertanian ini akan menghasilkan hasil pertanian yang alami, misalnya saja beras alami. Beras alami ini akan diperkenalkan secara luas suatu hari, jika petani sudah melakukan pertanian alami secara konsisten dan luas. Bahkan bisa menjadi pilihan buah tangan khas Rammang-Rammang.
"Orang akan mengingat, kalau mau makan beras alami, datang ke Rammang-Rammang,” katanya.
Lanjut, dia bercerita beberapa waktu lalu dirinya dan sejumlah orang dari komunitas merasa sedikit takut jika pupuk guano dari pegunungan Karst terkenal. Sebabnya, pupuk guano hanya dikhususkan untuk petani di Desa Sanlerang. Faktornya yakni terbatasnya sumber daya manusia untuk mengolah pupuk guano.
Faktor lainnya adalah kesedian bahan bakunya. Naharuddin menjelaskan tidak ingin mengeksploitasi bahan baku sebab akan menimbulkan pengaruh yang negatif.
Dia menjelaskan, kelelawar memiliki perlakuan khusus. Dalam setahun, panen kotoran kelelawar hanya terjadi dua kali. Saat panen, kotoran kelelawar tidak boleh diambil habis, alasannya menjaga kelestarian lingkungan. Kalau kotorannya semua diambil, kelelawar dapat pergi dari tempatnya dan mencari gua lain. Namun, jika kotorannya menumpuk dan tidak diambil, kelelawarnya bisa pergi dari gua tersebut.
“Jadi ada perlakuan khusus. Nah itu yang kami khawatirkan sebenarnya kenapa kami tidak terlalu ekspos pupuk guano. Jangan sampai permintaan pasar melonjak tinggi sementara bahan baku tidak mampu memenuhi permintaan,” tuturnya.
Selain plastik dan pupuk guano, masyarakat memanfaatkan rumah mereka untuk berbisnis homestay atau penginapan. Walaupun fasilitas penginapan masih terbilang tradisional, dengan ornamen-ornamen khas Rammang-Rammang, ini menjadi daya tarik wisatawan.
Edukasi Masyarakat
Naharuddin menyatakan edukasi masyarakat sangat diutamakan. Tujuannya dapat memperkuat perekonomian masyarakat di sana. Di Kampung Berua, masyarakat sudah memiliki mata pencaharian utama yaitu petani tambak maupun petani yang menghasilkan beras maupun hasil lainnya. Tetapi, ketika Rammang-Rammang mendunia, masyarakat diharapkan bisa mendapat penghasilan tambahan, misalnya saja membuat kerajinan tangan atau membuka penginapan.
Dia mengaku bisa mendapatkan paling besar yaitu Rp 15 juta per bulannya dari bisnis penginapannya. Normalnya dia dapat meraup Rp 10 juta per bulan, namun pemasukan tergantung dari musim. Naharuddin mengatakan ada yang lebih besar, dia mengaku temannya yang membuka penginapan juga, bisa mengantongi Rp 20 juta sampai Rp 30 juta per bulan.
Dirinya bercerita juga disaat sepi pengunjung, dia hanya mendapat Rp 1 juta per bulannya apalagi di saat Covid-19 melanda Indonesia. Adapun, harga penginapannya Rp 250 ribu per malam. Naharuddin mengatakan wisatawan yang paling banyak menjadi tamunya berasal dari luar negeri seperti Perancis, Belanda, dan Belgia. “Saya jarang sekali hampir tidak pernah mendapat tamu dari wisatawan lokal,” katanya.
Sebagai penutup perbincangan, Naharuddin berharap agar Rammang-Rammang bisa menjadi tempat wisata dengan kelestarian alamnya yang dapat terjaga.