Modus Korupsi Beras Kemensos di Balik KPK Tahan Eks Dirut Bhanda Ghara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Dirut PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) Persero periode 2018-2021 Muhammad Kuncoro Wibowo (MKW). Kuncoro ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi anggaran distribusi bantuan sosial beras untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pada Program Keluarga Harapan (PKH) di Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2020.
"Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka MKW di Rutan KPK untuk masing-masing selama 20 hari pertama, terhitung 18 September 2023 sampai dengan 7 Oktober 2023," kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu seperti dikutip dari Antara, Selasa (19/9).
Asep menjelaskan perkara dugaan korupsi tersebut diduga terjadi sekitar Agustus 2020. Saat itu, Kementerian Sosial mengirimkan surat pada PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) untuk dilakukan audiensi dalam rangka penyusunan rencana anggaran kegiatan penyaluran bantuan sosial beras di Kemensos.
Dalam audiensi tersebut, PT BGR Persero diwakili Budi Susanto (BS) selaku Direktur Komersial. Saat itu Budi menyatakan kesiapan perusahaannya untuk mendistribusikan bantuan sosial beras pada 19 Provinsi di Indonesia.
Sebagai langkah persiapan, Budi kemudian memerintahkan Vice President Operasional PT Bhanda Ghara Reksa April Churniawan (AC) untuk mencari rekanan yang akan dijadikan konsultan pendamping. Mendengar adanya informasi kebutuhan rekanan tersebut, Ivo Wongkaren (IW), Tim Penasihat PT PTP Roni Ramdani (RR) memasukkan penawaran harga menggunakan PT Damon Indonesia Berkah (DIB) Persero dan disetujui Budi yang berlanjut pada kesepakatan harga dan lingkup pekerjaan untuk pendampingan distribusi bansos beras.
Kemensos memilih PT Bhanda Ghara Reksa sebagai distributor bansos beras. Perusahaan itu kemudian menandatangani surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan penyaluran bantuan sosial beras untuk KPM-PKH dalam rangka penanganan dampak Covid 19 dengan nilai kontrak Rp 326 Miliar. Adapun PT Bhanda Ghara Reksa Persero melakukan penandatanganan perjanjian diwakili Direktur Utama Muhammad Kuncoro Wibowo (MKW).
Agar realisasi distribusi bansos beras dapat segera dilakukan, April atas sepengetahuan Kuncoro dan Budi secara sepihak menunjuk PT Primalayan Teknologi Persada milik Richard Cahyanto (RC) tanpa didahului dengan proses seleksi. Perusahaan Richard ditunjuk menggantikan PT DIB Persero yang belum memiliki dokumen legalitas jelas terkait pendirian perusahaannya. Rekayasa tersebut dilakukan atas sepengetahuan semua pihak yang terlibat.
Selain itu, Ivo dan Roni juga ditunjuk menjadi penasehat PT Primalayan Teknologi Persada agar dapat meyakinkan PT Bhanda Ghara Reksa mengenai kemampuan dari PT Primalayan Teknologi Persada. Dalam penyusunan kontrak konsultan pendamping antara PT Bhanda Ghara Reksa dengan PT Primalayan Teknologi Persada tidak dilakukan kajian dan perhitungan yang jelas.
Penentuan pemenang sepenuhnya ditetapkan secara sepihak oleh Kuncoro ditambah dengan tanggal kontrak juga disepakati untuk dibuat mundur. Atas ide Ivo, Roni, dan Richard selanjutnya PT Primalayan Teknologi Persada membuat satu konsorsium sebagai formalitas dan tidak pernah sama sekali melakukan kegiatan distribusi bansos beras.
Pada periode September 2020-Desember 2020, Roni kemudian menagih pembayaran uang muka dan uang termin jasa pekerjaan konsultan ke PT Bhanda Ghara Reksa dan telah dibayarkan sejumlah sekitar Rp 151 miliar. Uang itu dikirimkan ke rekening bank atas nama PT PT Primalayan Teknologi Persada.
Penyidik KPK juga menemukan rekayasa beberapa dokumen lelang dari PT Primalayan Teknologi Persada dengan kembali mencantumkan backdate. Periode Oktober 2020-Januari 2021, terdapat penarikan uang sebesar Rp 125 Miliar dari rekening PT Primalayan Teknologi Persada yang penggunaannya tidak terkait sama sekali dengan distribusi bantuan sosial beras.
Penyidik KPK memperkirakan perbuatan para tersangka telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp 127,5 miliar. Atas perbuatannya para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.