Drone Emprit: Percakapan Kecurangan Pemilu Meningkat
Narasi mengenai kecurangan pemilu terus menjadi sorotan baik di media daring nasional maupun media sosial. Platfom online berbasis big data, Drone Emprit menganalisis, selama periode 7 Februari 2024 hingga 22 Februari, percakapan mengenai kecurangan pemilu masih terus tinggi.
Setidaknya ada 18.555 berita yang diproduksi media onlne dan terus bergulir memberitakan soal kecurangan pemilu. Sedangkan, percakapan di media sosial X mencapai 948 ribu pada periode tersebut. Dalam pemaparannya, Pendiri Drone Emprit & Media Kernel Indonesia Ismail Fahmi mengungkapkan, narasi itu sebanyak 75% sentimennya negatif. Hanya 17% yang positif dan 8% sisanya netral.
Isu kecurangan yang paling banyak dibahas dan diberitakan meliputi kecurangan sebelum pencoblosan, saat dan setelah pencoblosan. Dugaan kecurangan pada sebelum pencoblosan yakni adanya kecurangan yang dilakukan secara sistematis dan invervensi politik, dalam hal ini Presiden Joko Widodo yang mendukung pasangan tertentu.
Selain itu, Drone Emprit juga menyoroti narasi yang beredar di media daring dan media sosial X adanya kecurangan penyalahgunaan bansos untuk tujuan politik dan pelanggaran etika dan penyalahunaan wewenang.
“Pelanggaran etika di MK, ketidaknetralan penyelenggara negara dan perilaku tidak etis ketua KPU menunjukkan penyalahgunaan wewenang dan kegagalan dalam menjaga integritas proses pemilu,” ujar Ismail, dalam acara diskusi secara virtual, Sabtu (24/2).
Sementara itu, dugaan kecurangan setelah pencoblosan yang menjadi sorotan antara lain manipulasi data di sistem sirekap KPU untuk memenangkan paslon tertentu.
Drone Emprit juga menyoroti dari pemberitaan menunjukkan adanya keraguan terhadap integritas pemilu. Meskipun ada tanggapan dari KPU dan Bawaslu mengenai isu yang muncul, masyarakat tetap skeptis. “Narasi negatif terkait pemilu bisa meningkatkan ketegangan sosial, terutama jika dipercaya sejumlah besar masyarakat,” katanya.
Pemilu Terburuk Sejak Reformasi
Gerakan masyarakat sipil Jaga Pemilu juga menilai, adanya kecurangan menjadi bukti bahwa pemilu tahun ini menjadi yang terburuk setelah Reformasi.
Menurut Rusdi Marpaung, Divisi Advokasi dan Hukum Jaga Pemilu, mengatakan, pelanggaran- pelanggaran lainnya yang cukup signifikan adalah, politik uang (9%), pencoblosan ilegal (7%), bermasalahnya Daftar Pemilih Tetap (6%) dan upaya membatasi pengawas Pemilu bekerja (6%) serta pelaksanaan pencoblosan yang bermasalah (5%).
Rusdi mengatakan, data diperoleh dari 11 ribu Penjaga dan relawan Pemilu yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang memasok data rekapitulasi suara dan dugaan pelanggaran dari 1000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan berupaya mengawalnya sampai kecamatan.
Dugaan yang Jaga Pemilu kumpulkan kemudian dilaporkan ke Bawaslu dengan melengkapi informasi dasar yang diminta Bawaslu. “Sampai saat ini JP sudah melaporkan 207 dugaan pelanggaran. Dari jumlah itu, satu sudah ditindaklanjuti,” kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan, berdasarkan temuan dari kecuranganpemilu.com, terjadi penggelembungan suara di 16 provinsi dan 83 kabupaten kota di seluruh Indonesia.
“Penggelembungan suara ini terjadi cukup merata di berbagai TPS di seluruh Indonesia. Kami mempertanyakan sistem Sirekap yang tetap menerima suara dari TPS di atas 300 suara padahal batasan suara di tiap TPS maksimal 300 suara. Seharusnya, sistem bisa menolak kalau ada TPS yang jumlahnya lebih dari 300 suara,” ungkap Feri.
Dugaan kecurangan pemilu juga tak hanya di dalam negeri. Menurut Trisna Dwi Yuni Aresta dari Migrant Care, pihaknya telah empat kali melaporkan temuan dugaan pelanggaran ke Bawaslu. Namun keempatnya berujung pada penolakan via surat yang menyatakan laporan mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat materiil.
Keempat laporan itu adalah dugaan pelanggaran terkait data pemilih ganda di New York dan Johor Bahru, insiden hadirnya calon legislatif Uya Kuya yang datang ke WTC Kuala Lumpur pada hari pencoblosan dan adanya spanduk calon legislatif Tengku Adnan yang menempel di Kotak Suara Keliling di Malaysia.
“Di Hongkong misalnya, hanya 41 persen pemilih yang bisa menggunakan hak suaranya. Jumlah itu berkurang lagi karena pengguna hak pilih metode TPS (31%) ataupun metode pos (31%) hanya sebagian,” kata dia.