Alasan Beda Nasib Golkar dan Gerindra Meski Satu Kubu Dukung Prabowo
Golkar dan Gerindra beda nasib dalam meraih suara di Pemilu 2024, meski sama-sama sebagai pengusung calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Berdasarkan hitung cepat (quick count) dan versi real count sementara dari Komisi Pemilihan Umum, Golkar lebih unggul dibandingkan Gerindra.
Berdasarkan real count KPU hingga Rabu (28/2) pukul 14.45 WIB, jumlah suara terkumpul mencapai 65,3% dari seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS). PDIP meraih suara paling tinggi 16,53% diikuti Golkar meraih 15,18%. Kemudian di posisi ketiga, Gerindra memperoleh 13,41%.
Ketua Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, mengungkapkan keprihatinannya Gerindra yang gagal mendapatkan coattail effect dari Prabowo. Mengingat Prabowo Subianto yang juga merupakan Ketua Umum Gerindra.
"Saya masih mencari sebab secara ilmiah ini kenapa Gerindra yang punya calon presiden dan seharusnya mendapat coattail effect paling besar, itu tidak mendapatkannya," kata Rommy, dikutip dari podcast Total Politik.
Data Quick Count Perolehan Suara Golkar vs Gerindra
Lembaga Survei | Golkar | Gerindra |
Kompas | 14,64% | 13,47% |
Charta Politika | 13,84% | 13,52% |
Indikator | 14,97% | 13,39% |
LSI | 14,85% | 13,02% |
Poltracking | 15,18% | 13,94% |
Rommy menyampaikan observasinya terhadap fenomena coattail effect atau efek jas ekor yang tidak menguntungkan Gerindra. “Coattail effect itu gak maksimal, saya enggak ketemu logikanya," ujar Rommy.
Gerindra telah dua kali mengusung Prabowo sebagai capres dalam dua pemilihan presiden terakhir. Pada saat Prabowo maju sebagai kandidat presiden pada 2014 dan 2019, Gerindra mendapatkan dukungan yang signifikan meskipun kalah Prabowo dalam pemilihan tersebut.
Rommy menyebutkan kurangnya pengetahuan publik terhadap identitas politik para kandidat sebagai salah satu penyebabnya. Menurutnya, tingkat pengetahuan yang tinggi ini adalah faktor penting dalam memicu “coattail effect”, tokoh populer cenderung membuat partai politik mendapatkan dukungan yang lebih besar.
Golkar Berhasil Raih Suara Efek Bansos
Melejitnya suara Golkar dalam Pemilu 2024 dianggap tak terlepas dari peran para elit partai. Terutama, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang terlibat dalam penyaluran bantuan sosial (bansos).
Direktur Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menyebut Airlangga kerap turun ke lapangan untuk menyalurkan bantuan pangan beras 10 kilogram (kg) efektif untuk menangkap sentimen positif dari para pemilih di daerah pemilihan (dapil).
Penyaluran bantuan pangan beras itu merupakan program pemerintah yang menyasar kepada 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Airlangga kerap menyalurkan bantuan pangan beras ke sejumlah daerah sebelum pelaksanaan pemilu pada 14 Februari lalu.
Pada 2 Februari, Airlangga terpantau terjung ke Mamuju, Sulawesi Barat untuk ikut dalam distribusi bantuan pangan beras untuk menekan kenaikan harga pangan akibat kondisi El Nino. Airlangga melakukan kegiatan serupa sejak awal tahun mulai dari Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali.
"Airlangga sebagai Menko Perekonomian punya sumber daya ekonomi dan logistik dalam program bantuan sosial, insentif UMKM yang di mana itu dianggap konkret oleh masyarakat," kata Agung saat dihubungi Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Peroleh suara Golkar pada 2024 cenderung naik daripada Pemilu 2019. Pada 2019, Golkar mendapatkan 17,22 juta suara atau 12,31%.
Selain itu, kata Agung, partai berlogo beringin itu punya sejumlah tokoh politik populer di tiap dapil seperti Ridwan Kamil di Jawa Barat, Airin Rachmi Diany di Banten hingga Erwin Aksa di DKI Jakarta. "Penempatan figur caleg yang terampil di tiap dapil dan adanya sosok populer ini strategi yang bagus untuk menaikkan suara di pileg," ujar Agung.