AstraZeneca Digugat, Vaksin Tak Picu Sindrom Langka di Indonesia
Produsen AstraZeneca sedang menghadapi gugatan class action karena efek dari vaksin Covid-19 yang menyebabkan pembekuan darah dan pendarahan otak. Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi atau Komnas PP KIPI, Hinky Satari, mengatakan tak menemukan kasus sindrom pembekuan darah dan pendarahan otak setelah penggunaan vaksin tersebut di Indonesia.
Efek pembekuan darah dan pendarahan otak itu disebut dengan istilah Thrombosis with Thrombocytopenia atau TTS. Hinky menjelaskan ada berbagai tahapan uji klinis vaksin Covid-19 yang melibatkan jutaan orang pada awal perkenalan. Dari uji klinis itu, efek samping tersebut jarang ditemui.
“Dari data-data yang dikumpulkan selama setahun, dibandingkan juga dengan data sebelum vaksin Covid-19 diintroduksi, ternyata enggak ada peningkatan TTS dan juga enggak ada kasus TTS dilaporkan selama setahun itu," kata Hinky dilansir dari Antara, Kamis (2/5).
Angka ini diperoleh dari surveilans aktif yang dilakukan Komnas KIPI, Kementerian Kesehatan, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM. mereka melakukan surveilans dari Maret 2021—Juli 2022 di 14 rumah sakit pada tujuh provinsi. Rumah sakit yang dipilih ini adalah yang memiliki kelengkapan tenaga kesehatan, gasilitas, dan laboratorium yang baik agar pendataannya baik.
“Maka dari itu, vaksin AstraZeneca masih tetap direkomendasikan dan tidak ada laporan yang serius, terutama untuk TTS,” katanya.
Surat kabar Inggris, The Telegraph, melaporkan kasus efek samping TTS ini. Sebanyak 51 kasus klaim atas TTS ini sudah diajukan ke Pengadilan Tinggi. Korban dan keluarga yang berduka kemudian meminta ganti rugi senilai hingga 100 juta Euro atau Rp 1,73 triliun.
Gugatan pertama di Inggris dilayangkan tahun lalu oleh Jamie Scott. Ayah beranak dua ini divaksin pada April 2021 kemudian menderita pembekuan darah dan pendarahan otak. Akhirnya, ia menderita cedera otak permanen.
“Raksasa farmasi ini digugat class action atas klaim bahwa vaksinnya yang dikembangkan bersama University of Oxford, menimbulkan kematian dan cedera serius dalam banyak kasus,” tulis The Telegraph dikutip Kamis (2/5).
AstraZeneca menggugat balik tudingan tersebut, tapi dokumen legal yang disampaikan ke Pengadilan Tinggi Februari lalu mengatakan hal lain. Mereka menyebut bahwa vaksin Covid, “bisa, dalam kasus yang sangat jarang, menimbulkan TTS,” tulisnya.
Menanggapi gugatan Scott, pada Mei 2023 AstraZeneca tidak setuju bahwa TTS disebabkan oleh vaksin yang diberikan pada dosis standar. Namun pada dokumen legal mereka disebut bahwa vaksin bisa, dalam kasus yang sangat jarang, menimbulkan TTS. Mekanisme penyebabnya pun belum diketahui.