Putusan Direksi BUMN Dinilai Tak Bisa Dipidana, Bagaimana Dasarnya?

Amelia Yesidora
23 Mei 2024, 08:00
BUMN
ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/aww.
Terdakwa kasus korupsi pengadaan gas alam cair atau Liquified Natural Gas (LNG) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan (kanan) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (18/3/2024).
Button AI Summarize

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana berpendapat, kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya tidak dihitung sebagai korupsi. Hal serupa juga berlaku untuk kasus korupsi di PT Pertamina yang tengah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan menyeret mantan Direktur Utama Karen Agustiawan.

Menurut Hikmahanto, kerugian yang muncul dalam kasus pengadaan LNG terjadi karena adanya instruksi pemerintah dikombinasi dengan keadaan global yang tidak bisa diperkirakan. Ia mengatakan direksi tidak bisa dipidana selama tidak ada niat dan itikad buruk untuk memanfaatkan kebijakan untuk menguntungkan diri sendiri dan golongan. 

“Direksi itu bukan peramal, dia tidak tahu kalau sudah dilakukan berbagai simulasi bahkan profesional dilibatkan, (kemudian) dia ambil keputusan, tapi tiba-tiba perang, atau tiba-tiba harga rupiah melonjak, atau misalnya terjadi Covid. Dia tak bisa meramal,” ujar Hikmahanto dalam diskusi bertajuk "Bahaya Kriminalisasi Putusan Bisnis" yang digelar Katadata Forum di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (22/5).

Hikmahanto mengatakan bila kerugian negara didefinisikan sebagai korupsi maka para direksi akan sulit untuk mengambil kebijakan yang berdampak luas. Di sisi lain ia mengatakan direksi sudah mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil kepada pemilik saham melalui rapat umum. 

Sementara itu, ekonom senior Faisal Basri menyebutkan apabila kebijakan direksi bisa dipidana maka hal yang sama juga bisa berlaku untuk presiden. Menurut dia, aktor utama dibalik keputusan-keputusan sulit yang diambil direksi BUMN tak bisa dilepaskan dari instruksi Presiden Joko Widodo. 

Faisal mencontohkan tanggung jawab presiden misalnya terlihat dari kebijakan larangan ekspor CPO. Kebijakan ekspor CPO yang kemudian berujung pidana pada beberapa pengambil kebijakan menurut Faisal tak lepas dari instruksi presiden untuk melarang ekspor. “Jadi, sumber masalahnya Jokowi. Kenapa dia enggak tersangka?” kata Faisal dalam diskusi tersebut. 

Faisal juga menyinggung  hal yang terjadi pada mantan Karen Agustiawan. Ia menyebut bila keputusan Karen dalam pengadaan LNG dapat dipidana maka dapat menimbulkan ketakutan bagi direksi untuk mengambil risiko bisnis. 

“Terlepas dari (kasus) Ibu Karen, pokoknya sekarang direksi Pertamina tidak mau ambil risiko, takut (mengalami) seperti yang dialami Ibu Karen, Ini fakta. Lihat saja sekarang lifting minyak tinggal 606.000 barrel per hari,” ujar Faisal. 

Pada 2013 dan 2014 lalu, Pertamina melakukan perjanjian jual beli LNG dengan perusahaan asal Amerika, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL). Langkah ini dianggap melawan hukum dan KPK mendakwa Karen merugikan negara sebesar US$ 113,84 juta dolar atau setara dengan Rp1,77 triliun.

KPK menduga ada korupsi dalam pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina pada 2011—2014. Mantan Dirut PT Pertamina itu didakwa memperkaya diri sebesar Rp 1,09 miliar dan sebanyak US$ 104.016 atau setara dengan Rp 1,62 miliar. Selain itu, dia dianggap memperkaya perusahaan AS Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) senilai US$ 113,84 juta atau setara dengan Rp 1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Semetara itu Dirut Pertamina periode 1998-2000 Martiono Hadianto menuturkan, permasalahan dalam Business Judgement Rule terletak pada praktik pengambilan keputusan bisnis oleh direksi. Ia mengatakan penegak hukum juga perlu mempertimbangkan Business Judgement Rule atau BJR dalam melihat kerugian negara yang disebabkan oleh kebijakan direksi. 

Diskusi Katadata Kriminalisasi Putusan Bisnis
Diskusi Katadata Kriminalisasi Putusan Bisnis (Katadata/Amelia Yesidora)

Mengapa Business Judgement Rule Diperlukan?

Mengenai urgensi penerapan business judgement rule atau BJR, Hikmahanto mengatakan harus mulai diterapkan dalam melihat perkara yang berkaitan dengan keputusan direksi. Dengan konsep ini, direksi perseroan tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara hukum atas keputusan yang diambilnya walaupun keputusan tersebut menimbulkan kerugian. Namun BJR berlaku sepanjang keputusan dilakukan dengan itikad baik dengan tujuan dan cara yang benar. 

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara atau Jamdatun, Feri Wibisono. Ia mengatakan direksi tidak selalu bertanggungjawab secara pidana atas keputusannya.

“Kerugian perusahaan tidak menjadi tanggung jawab bagi direksi dan officer, sepanjang kerugian itu dilaksanakan berdasar keputusan atas kewenangan. Kalau tidak sesuai, seenaknya aja, dong,” ujar Feri.

Bila hal ini berlanjut, mereka menganggap kasus dugaan korupsi yang dilakukan Karen adalah kriminalisasi. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hadir sebagai saksi di sidang Kamis (16/5) lalu juga menegaskan keputusan Karen yang dianggap tindakan korupsi itu berdasar perintah dari instruksi pemerintah.

Dalam jangka panjang, Hikmahanto menyebut kasus kriminalisasi serupa bisa mempengaruhi kinerja BUMN bahkan penerimaan negara.m“Bahayanya apa? Direksi direksi selalu dibayang-bayangi ketika mengambil keputusan. Jangan-jangan saya masuk penjara, jadi enggak mau ambil risiko. Risk averse, menghindari risiko,” ujar Hikmahanto.

Hapus UU Korupsi tentang Kerugian Negara, Fokus ke Aturan Suap

Agar business judgement rule bisa diterapkan, praktisi hukum Maqdir Ismail menyarankan penghapusan beberapa pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHP. Menurut Maqdir, pasal yang berkaitan dengan korupsi harusnya menyorot adanya suap. Ia mengatakan mayoritas aturan yang berlaku di dunia melihat korupsi karena ada unsur suap dan bukan karena alasan kerugian negara. 

“Menurut saya, pasal-pasal tertentu seperti pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-Undang Tipikor dan Pasal 603 dan 604 KUHP ini mestinya kita batalkan saja, sebab di sini tidak ada syarat suap-menyuap,” kata Maqdir yang hadir secara virtual dalam diskusi. 

Maqdir juga menyoroti UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam beleid itu, masalah penyalahgunaan kekuasaan akan diselesaikan secara administratif. Namun setelah diundangkan, Mahkamah Agung justru membuat peraturan bahwa penyelesaian masalah secara administratif tidak bisa dilakukan. Hasilnya, penyelesaian masalah penyalahgunaan kekuasaan diselesaikan dengan jalur pidana.

“Ini berat sekarang, semua hal ingin kita pidana. Padahal harusnya pidana itu bagian terakhir dari masalah, tapi kita tidak begitu,” kata Maqdir.

Setelah menghapus peraturan terkait kerugian negara, Maqdir mengatakan negara harus punya hakim yang berani memutus. Hakim ini harus bisa menentukan apakah tersangka korupsi yang menyebabkan kerugian negara punya itikad baik dan apakah dia mendapat keuntungan dari perbuatannya. Dari pertimbangan itu, harusnya tersangka bisa dibebaskan.

Usulan Maqdir juga disetujui oleh Feri. Ia mengatakan bila memang BUMN ingin agar keuangannya tidak termasuk dalam keuangan negara, perlu mengubah Undang-Undang yang Maqdir maksud. “Silakan diubah Undang-Undangnya, tatarannya itu di pembuat Undang-Undang,” kata Feri dalam acara yang sama.

Pada aspek pelaksanaan, Feri menyatakan Indonesia harus bisa meningkatkan Indeks Negara Hukum atau Rule of Law Index. Ini diukur dengan proses peradilan, dari penyidikan sampai akhir putusan. Saat ini, posisi Indonesia menurutnya di angka yang tak terlalu menggembirakan.

Padahal menurut Feri, indeks ini sangat berpengaruh terhadap Peringkat Daya Saing atau Competitiveness Ranking. Index ini kerap dipakai para investor untuk menanamkan modal di satu negara. “Mereka enggak mungkin taruh uang sebegitu besar, kalau tidak ada kepastian hukum,” ujarnya.

Feri memberi dua saran lain untuk menghindari kriminalisasi adalah dengan membuat peraturan kode etik atau code of conduct terkait kebijakan dalam perusahaan. Lalu, harus ada sistem pengendalian penipuan atau fraud control system. Akan ada banyak kasus yang ditemukan dalam awal-awal pemberlakuan, namun menurut Feri hal ini bisa berdampak baik di jangka panjang.

“Begitu sanksinya dieksekusi dan penaltinya tepat, maka masuk proses pengadilan. Cukup satu sampai tiga tahun untuk membayar disiplin sanksi,” ujar Feri. 

Reporter: Amelia Yesidora

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...