Pengusaha Minta Kenaikan Cukai Rokok 2025 di Bawah 5%
Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia atau Gapprindo mendorong pemerintah agar kenaikan cukai rokok tahun depan di bawah pertumbuhan ekonomi tahun ini. Gapprindo memperkirakan, kenaikan cukai rokok hingga belasan persen yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dapat memangkas produksi rokok lebih dari 10%.
Ketua Umum Gapprindo Benny Wachjudi mencatat, produksi rokok telah turun 10% per tahun sejak 2019. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh cukai rokok yang konsisten naik di atas 10% sejak 2018.
"Kami paham pemerintah tidak mungkin tidak menaikan cukai. Sebagai jalan tengah kami minta kenaikan cukai tidak lebih dari pertumbuhan ekonomi, itu mungkin masih agak optimal," kata Benny kepada Katadata.co.id, Rabu (12/6).
Benny menilai, pemerintah gagal menekan konsumsi rokok dengan implementasi cukai rokok di dalam negeri. Kenaikan cukai rokok dinilai meningkatkan volume peredaran rokok ilegal di pasar.
Ia pun berpendapat cukai rokok tidak berhasil menekan angka prevalensi perokok selama lima tahun terakhir. Hal tersebut terlihat dari penurunan produksi selama lima tahun terakhir yang tidak diikuti oleh volume konsumsi.
Kementerian Kesehatan mendata, jumlah perokok aktif di dalam negeri mencapai 69,1 juta orang pada 2021. Angka tersebut naik menembus 70 juta orang pada tahun lalu dengan peningkatan signifikan pada kelompok anak dan remaja.
"Artinya, jumlah rokok ilegal di pasar bertambah. Selain itu, dampak bagi penerimaan pemerintah kurang bagus lantaran target cukai rokok tahun lalu saja tidak tercapai," katanya.
Penerimaan cukai rokok sepanjang Januari 2024 turun Rp 600 miliar dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Angkanya menjadi Rp 17,89 triliun atau sekitar 7,27% dari target dalam anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2024.
Mengutip publikasi APBN KiTa Kementerian Keuangan edisi Februari 2024, penurunan kinerja tersebut terjadi karena produksi dan tarif efektif pada bulan November 2023 dan adanya pelunasan maju cukai rokok ke 2023.
“Tarif efektif tersebut dipengaruhi oleh produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) golongan 1 yang memiliki tarif tinggi terus mengalami penurunan lebih dalam dibandingkan jenis lainnya,” tulis publikasi APBN KiTa Februari 2024 dikutip Rabu (28/2).