Sayonara PPP, Akhir Kiprah Partai Ka’bah di Panggung Politik Senayan
Hasil pemilu 2024 memaksa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengurut dada. Setelah 47 tahun berkiprah di Senayan sejak pemilu 1977, kali ini partai berlambang ka’bah tak bisa mengirim wakil untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029.
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) PPP hanya mengantongi 5.878.777 suara atau setara 3,87%. Capaian ini tidak cukup membawa partai melenggang ke DPR sesuai syarat dalam Undang-Undang Pemilu yaitu minimal 4% secara nasional.
PPP tak terima hasil rekapitulasi KPU. Ketua Dewan Pimpinan Pusat partai Ahmad Baidowi mengatakan berdasarkan perhitungan internal partainya mengantongi 4,02% suara, cukup untuk syarat ambang batas parlemen. Atas perhitungan itu, PPP pun mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pileg 2024 ke Mahkamah Konstitusi.
Pengurus mencatat perbedaan suara dari hitungan internal dengan rekapitulasi KPU terjadi di 18 provinsi. Sayangnya, dari total gugatan pileg DPR yang diajukan hanya 1 yang dianggap majelis hakim MK layak masuk tahap pembuktian yaitu untuk daerah pemilihan Jawa Tengah III.
Nyatanya, pada saat sidang putusan sengketa pileg yang berlangsung Jumat (8/6), MK menyatakan satu-satunya gugatan PPP untuk Pileg DPR itu ditolak. Kandas sudah harapan para caleg yang sudah mengantongi suara untuk syarat lolos ke DPR seperti dialami Baidowi.
Di Dapil Jawa Timur XI yang mencakup Bangkalan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep Baidowi mengantongi 395 ribu suara. Suara yang diperoleh terbilang tinggi dibanding caleg top lain, bahkan dari Ketua DPR Puan Maharani yang mengantongi 297.366 suara di dapil Jawa Tengah V. Hal sama juga dialami caleg PPP lainnya yang mengantongi suara tinggi seperti Illiza Sa'adudin Djamal dari dapil Aceh yang memperoleh 110 ribu suara.
Caleg lain yang mengantongi suara besar adalah Muhammad Aras dari dapil Sulsel III yang memperoleh 101.938 suara dan Amir Uskara dari dapil Sulsel I yang memperoleh 94.287 suara. Secara keseluruhan merujuk pemilu 2024 PPP bisa mengirimkan setidaknya 12 anggota legislatif ke Senayan.
Alhasil, pemilu September 2024 menjadi akhir tugas politikus PPP berkiprah di Senayan. Pada pemilu 2019 partai yang kini dipimpin Muhammad Mardiono itu mendapat 6.323.147 suara atau setara 4,52%.
Faktor Kepemimpinan
Kalah di MK menjadi pukulan bagi PPP. Namun, pelaksana tugas ketua umum Muhammad Mardiono meyakinkan kader bahwa perlawanan akan terus dilakukan. Kepada pengurus DPP, Mardiono menyatakan akan mengambil langkah lain untuk bisa meloloskan PPP ke Senayan.
Mardiono berpandangan PPP tak ingin 5 juta lebih suara pemilih hilang begitu saja. Meski begitu baik Mardiono maupun Baidowi belum mau mengungkap apa langkah yang disiapkan itu. “Tidak perlu saya sampaikan yang jelas bukan PHPU karena sudah selesai,” ujar Baidowi kepada Katadata.co.id.
Mantan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa melihat kegagalan PPP dalam pemilu 2024 lebih tajam. Ia menilai kegagalan mantan partainya tembus ke parlemen merupakan tanggung jawab pimpinan partai ka'bah. Kendati demikian, Suharso mengatakan dirinya enggan berkomentar lebih jauh terkait kegagalan PPP dalam Pilkada 2024.
Menteri PPN/Kepala Bappenas itu pun mengungkit saat dirinya masih menjabat sebagai Ketum PPP. Ia pun berharap partai ka'bah dapat lebih baik ke depannya. "Kalau orang Jawa bilang itu katempuhan. Karena saya juga pernah jadi pimpinan di situ kemudian tidak masuk lagi ya, ya mudah-mudahan yang akan datang bisa lebih baik lagi," kata Suharso.
Sebelumnya, melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) 2022 lalu, PPP Suharso diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Umum partai. Kursi yang ditinggalkannya kemudian diduduki oleh Mardiono sebagai pelaksana tugas. Keputusan itu diambil setelah mendapat persetujuan dari Ketua Majelis Syariah KH Mustofa Aqil Siroj, Ketua Majelis Kehormatan KH Zarkasih Nur, dan Ketua Majelis Pertimbangan Muhammad Mardiono.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) Fathorrahman Fadli menilai turunnya suara partai islam termasuk PPP di Pemilu 2024 merupakan dampak adanya politik sekularisasi di kalangan umat islam di Indonesia.
"Politik kita memang sedang berjalan tanpa nilai-nilai, uang lebih banyak berbicara dan menentukan dalam proses-proses politik kepemiluan," kata Fadli.
Menurut Fadli secara keseluruhan total suara partai islam di pemilu 2024 adalah 46.886.819 suara atau 30,89%. Suara itu terbagi pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Ummat, dan Partai Bulan Bintang (PBB).Dari jumlah itu hanya PKB, PKS, dan PAN, yang berhasil lolos ke parlemen.
Fadli menjelaskan, proses politik yang ada tersebut dikarenakan kondisi ekonomi rakyat yang sulit atau memang dibuat sulit. Dengan kondisi kesulitan ekonomi itu, maka uang sebagai alat tukar untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat menjadi pilihan.
Di sisi lain ia melihat ada kecenderungan pemilih tidak mendapat pengarahan dari pemimpin umat untuk memilih partai dan caleg mana di pemilu. Hal itu terjadi lantaran pamor partai islam yang tidak lagi kuat.
"Jadi memang agama yang mereka anut ternyata tidak mampu menyadarkan mereka dalam memilih partai atau calon wakilnya di parlemen. Disinilah eksistensi nilai-nilai agama pada diri warga negara menjadi pertanyaan besar," kata Fadli.
Faktor kepemimpinan juga menjadi salah satu hal yang disampaikan oleh Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor. Dalam tulisan opini yang dipublikasikan di Kompas, Firman menyebut PPP mengalami permasalahan dalam hal ketokohan baik di tingkat nasional maupun lokal. Menurut Firman, ketokohan dalam kehidupan politik merupakan sebuah keharusan, terutama sebagai bagian dari pembentukan citra positif partai.
“Sayangnya, PPP saat ini tidak cukup mampu melahirkan tokoh-tokoh baru yang sejajar kualitas ketokohannya dengan tokoh-tokoh PPP di masa lalu,”ujar Firman dalam tulisannya. Menurut Firman, partai lain selain PP justru mampu merebut sejumlah tokoh baru berkualitas dan berpengaruh untuk menjadi kader sehingga berdampak dalam kontestasi elektoral.
Dua masalah lain yang dinilai membebani PPP adalah minimnya kekuatan finansial partai dan kader dan persoalan soliditas partai. Menurut Firman, sejak pemilu 2019 PPP dirundung konflik internal yang berlanjut hingga penentuan tokoh calon presiden di pemilu 2024. Padahal menurut dia soliditas jajaran pengurus diperlukan untuk meluaskan dan memelihara basis konstituen.
Pada pemilu 2024, PPP secara resmi mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun, di perjalanan terdapat perpecahan di tingkat kader karena semakin banyak suara yang menyatakan dukungan pada Prabowo Subianto yang kemudian terpilih menjadi presiden.
Kiprah PPP di Panggung Politik Indonesia
PPP adalah hasil penggabungan 4 partai keagamaan, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), serta Partai Muslim Indonesia (Parmusi). Penggabungan tersebut dilakukan pada 1973 dengan tujuan menyederhanakan sistem kepartaian dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1973.
Selama Orde Baru, PPP menjadi partai yang kerap berhadapan dengan Golkar yang menguasai DPR. Politikus PPP di Senayan sering bersuara keras dan menjadi oposisi. Pada masa ini suara PPP selalu di posisi kedua di bawah Golkar dengan selisih yang sangat timpang. Meski begitu PPP menjadi partai yang dinilai berani bersuara berbeda dari pemerintah.
Sistem pemilihan umum kemudian diubah pascareformasi, yakni pada 1999. Saat itu diputuskan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat dari sebelumnya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan begitu, mulai tahun 1999 digelar pemilu legislatif dan pemilu presiden sehingga pemilu terbagi menjadi pileg dan pilpres.
Pada Pemilu 1999 untuk legislatif, PPP meraih 11,31 juta suara atau 10,72% dari total suara sah nasional. Dengan capaian ini PPP berhasil menempatkan 58 wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jumlah anggota DPR dari partai ini mencapai 12,55% dari total anggota parlemen pusat.
Lalu pada Pemilu 2004, partai berlambang Ka’bah ini meraup 9,24 juta suara (8,12%), turun dibanding Pemilu sebelumnya. Di periode 2004-2009 jumlah kursi PPP di DPR tetap sebanyak 58 kursi, namun secara persentase turun menjadi 10,55%.
Demikian pula pada Pemilu 2009, perolehan suara PPP kembali turun menjadi 5,54 juta suara (5,33%) dan perolehan kursi DPR-nya menyusut menjadi 38 kursi (6,79%). Perolehan suara PPP sempat meningkat menjadi 8,12 juta suara (6,53%) pada Pemilu 2014, diiringi perolehan kursi DPR yang bertambah menjadi 39 kursi (6,96%).
Namun, pada Pemilu 2019 perolehan suaranya kembali menyusut menjadi 6,3 juta suara (4,53%), dan perolehan kursi DPR partai ini berkurang menjadi hanya 19 kursi (3,3%). Perolehan suara dan kursi ini merupakan yang terkecil sejak 1999.
Asa Kembali ke Senayan
Tak lolos ke Senayan, bukan berarti kiprah PPP di panggung politik berakhir. Partai yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu hampir memiliki struktur kepengurusan partai hingga kabupaten dan kota. PPP juga memiliki sayap-sayap partai yang bisa digerakkan.
Sebagian besar DPRD di kabupaten dan kota dan provinsi juga masih menyisakan wakil rakyat dari PPP. Di beberapa daerah partai ka’bah juga masih kuat seperti di Jepara, Jawa Tengah. Meski tidak lagi menempatkan wakilnya di DPRI, berdasarkan hasil Pemilu 2024 PPP masih memiliki 80 kursi DPRD provinsi serta sekitar 800 kursi DPRD kabupaten/kota se-Indonesia. Jumlah itu masih mungkin bertambah seiring dengan keputusan MK memerintahkan KPU melakukan pemilihan suara ulang (PSU) di sejumlah wilayah.
Masih eksisnya wakil rakyat PPP di DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari hasil Pemilu 2024, setidaknya masih menyisakan "jembatan" antara rakyat dengan partai. Modal inilah yang bisa digunakan untuk merawat kantong-kantong tradisional suara partai ini.
Di sisi lain peluang PPP untuk kembali ke Senayan pada pemilu 2024 juga masih terbuka. Bila bisa minimal mempertahankan dan merawat pemilih pada pemilu ini, maka PPP bisa kembali ke Senayan pada pemilu 2029. Alasannya MK pada Kamis (29/2) lalu memutuskan pemerintah dan DPR mengubah ambang batas parlemen atau parliamentary threshold pada pemilihan umum legislatif atau Pileg 2029.
Penurunan ambang batas ditetapkan untuk memperkecil jumlah suara yang hilang dalam pemilu akibat partai yang dipilih tak lolos ke parlemen. Meski belum menyebut angka, MK memerintahkan agar ambang batas parlemen diturunkan dari 4% seperti tertuang di pasal 414 ayat 1 Undang-Undang No. 7/2017 tentang pemilu.