Silang Pendapat soal Dua Pasal Kontroversi UU Tipikor, Perlukah Dihapus?

Ade Rosman
14 November 2024, 21:23
Diskusi Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11). Foto: Ade Rosman/Katadata
Katadata
Diskusi Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11). Foto: Ade Rosman/Katadata
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Guru Besar Hukum Pidana hingga mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan pendapatnya soal Pasal 2 dan 3 Undang-undang tindak pidana korupsi. Masukan tersebut diberikan pada acara seminar bertajuk 'Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi," yang digelar Lembaga Kajian Hukum UI Bersama Katadata Insight Center (KIC), di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11).

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran yang juga merupakan Tim Perumus Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK, Romli Atmasasmita, menyarankan merevisi UU Tipikor khususnya Pasal 2 dan 3. 

Kedua pasal tersebut saat ini tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon menyoroti kerugian negara menjadi tolok ukur seseorang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Pasal 2 UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sedangkan Pasal 3 UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Menurut Romli, dua pasal kontroversi UU Tipikor itu tak perlu dihapus, namun hanya cukup direvisi. Penghapusan pasal UU Tipikor bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan Prabowo.

Ia beralasan, masyarakat seringkali terkesan skeptis dan butuh bukti pemberantasan korupsi. "Revisinya rumusannya jangan terlalu lentur," katanya.

Lain halnya pendapat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007, Amien Sunaryadi, berpandangan penanganan korupsi saat ini perlu berfokus pada suap dan gratifikasi dalam suatu perkara.  Dia menilai kedua pasal kontroversial di UU Tipikor itu perlu dihapus.

"Namun harus dilakukan political economy analysis dulu. Kalau suap diprioritaskan, siapa saja yang akan setuju, siapa saja yang akan tidak setuju," kata dia.

Amien mengatakan, cara yang realistis untuk mencabut kedua pasal itu dengan melakukan judicial review karena amandemen susah untuk direalisasikan akibat sejumlah faktor. Terlebih, perlu lebih banyak tahapan persetujuan untuk mengubah amandemen, mulai dari seluruh anggota DPR yang lebih dari 500 orang, hingga para Ketua Umum parpol di parlemen.

"Susah. Mendingan judicial review, hanya 9 orang (hakim)," ujarnya.

Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...