Masyarakat Sipil Singgung Pasal Bermasalah RUU TNI, Soroti Potensi Dwifungsi


Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti sejumlah pasal yang berpotensi mengandung masalah dalam Revisi Undang-Undang TNI. Mereka mengkhawatirkan dwifungsi TNI dan militerisme kembali jika pasal-pasal tersebut disahkan.
Tak hanya itu, Koalisi menilai pengajuan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 ini juga tak mendesak. Hal ini karena aturan tersebut dianggap masih relevan untuk membangun transformasi TNI yang lebih profesional.
"Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah," demikian keterangan Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulis, Jumat (14/3).
Potensi masalah pertama adalah perluasan fungsi TNI di jabatan sipil yakni Kejaksaan Agung serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Koalisi beranggapan fungsi TNI sejatinya adalah alat pertahanan negara, bukan penegak hukum.
Mereka juga mengkritisi posisi Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil). Menurut koalisi, keberadaan Jampidmil tidak diperlukan karena hanya menangani perkara terkoneksi TNI.
"Untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan tim Kejaksaan Agung dan oditur militer," kata Koalisi.
Mereka juga mengkritik rencana penempatan TNI aktif di Kementerian KKP. Koalisi berharap ada pembatasan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil.
"Jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah," demikian keterangan Koalisi.
Koalisi juga mengkritik potensi penambahan tugas TNI seperti penanganan masalah narkotika. Menurut mereka, tugas menangani narkoba seharusnya dilakukan aparat penegak hukum.
"Pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi 'war model'," demikian keterangan koalisi.
Tak hanya itu, koalisi juga menilai pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tanpa persetujuan DPR menjadi berbahaya. Ini karena langkah tersebut meniadakan peran parlemen.
"Hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya penegak hukum dalam mengatasi masalah dalam negeri," bunyi keterangan tertulis koalisi.
Adapun, koalisi ini terdiri dari SETARA Institute, Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Selain itu, ada pula Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, dan Dejure.