Pakar Hukum Soroti Potensi Hukuman Berlebihan dalam Gugatan PT Timah ke MK


Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta atau UMJ Chairul Huda menyoroti adanya potensi hukuman berlebihan terhadap terdakwa atau overpenalization dalam gugatan PT Timah Tbk ke Mahkamah Konstitusi alias MK.
Chairul Huda menilai, apabila gugatan itu dikabulkan, maka pidana yang dijatuhkan kepada orang yang memperkaya diri sendiri, akan digandakan dengan pidana yang dijatuhkan kepada pihak lain baik orang atau korporasi yang terlibat.
"Terlebih dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah tersebut, bentuk kerugian negara Rp 300 triliun bukan angka riil, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan," ujar Chairul dalam keterangan pers di Jakarta, Sabtu (15/3).
Dari praktik eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tambang timah tersebut, Chairul berpendapat bahwa pihak yang lebih banyak menikmati hasilnya yakni PT Timah.
Oleh karena itu, PT Timah dinilai merupakan pihak diberi sanksi. Hal ini tidak diatur di bawah Undang-Undang atau UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melainkan UU yang lebih spesifik, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau Minerba maupun UU Lingkungan.
"Ini karena kerugian yang dianggap ada dalam kasus tersebut, bukan kerugian keuangan negara, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan," ujar dia.
Sebelumnya, PT Timah mengajukan gugatan kepada MK untuk mengubah Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Gugatan tersebut dilayangkan pada 3 Maret melalui kuasa hukum mereka, yang menilai bahwa pasal tersebut sudah tidak relevan dalam konteks perkara korupsi timah.
Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku saat ini mengatur pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
PT Timah meminta agar pasal tersebut diubah menjadi berisi pembayaran uang pengganti dengan sebanyak-banyaknya sama dengan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara, yang timbul akibat tindak pidana korupsi.
Permohonan diajukan terkait dengan kasus timah ilegal yang melibatkan terdakwa Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya, yang kini sudah berada di tingkat banding.
Dalam putusan banding itu, kerugian negara ditetapkan mencapai Rp 300 triliun, yang terdiri atas kerugian lingkungan akibat tambang timah ilegal Rp 271 triliun dan kerugian lainnya terkait dengan penyewaan alat proses penglogaman timah yang tidak sesuai dengan ketentuan.
PT Timah menilai bahwa penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan keadilan.
Dalam gugatannya, mereka menyatakan bahwa akibat penerapan pasal itu, para terdakwa tidak dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal di wilayah IUP Pemohon I Rp 271 triliun.