Soal Tarif Impor AS, Ekonom UI: Indonesia Mesti Negosiasi dan Reformasi Regulasi

Muhammad Almer Sidqi
6 April 2025, 14:45
Ilustrasi Telaah - Perang dagang AS-Tiongkok
Katadata
Ilustrasi perang dagang
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Indonesia masuk dalam pusaran perang dagang 2.0 yang lagi-lagi diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. AS memutuskan penerapan tarif timbal balik 32% terhadap impor dari Indonesia.

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, mengusulkan pendekatan negosiasi yang dilengkapi penguatan daya saing produk ekpor dan reformasi regulasi dalam negeri sebagai upaya menghadapi pemberlakuan tarif masuk ke AS.

Telisa menyampaikan upaya retaliatif seperti menaikkan tarif balasan justru kontraproduktif dan berpotensi memicu efek domino yang memperburuk hubungan dagang bilateral. Langkah itu bahkan dinilai dapat memicu eskalasi perang dagang yang merugikan Indonesia dalam jangka panjang.

"Jangan sampai kebijakan tarif balasan justru membuat ekspor kita makin tertekan. Solusinya ada di negosiasi, reformasi regulasi, dan diversifikasi pasar ekspor," ujar Telisa, dikutip dari Antara, Minggu (6/4).

Sebagai anggota ASEAN, BRICS, dan G20, Indonesia dinilai perlu memaksimalkan jalur diplomasi multilateral. Meski Trump cenderung mendorong kesepakatan bilateral, langkah kolektif di tingkat kawasan tetap penting untuk menciptakan posisi tawar yang lebih kuat.

"Multilateral diplomacy harus tetap berjalan. Tapi di saat yang sama, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan sektoral untuk meningkatkan daya saing industri nasional," kata Telisa. Sektor-sektor seperti minyak sawit dan tekstil, yang masih memiliki permintaan tinggi di pasar AS, dinilai bisa menjadi jembatan menjaga komunikasi dagang tetap terbuka.

Telisa juga menyoroti potensi terjadinya trade diversion dari negara-negara seperti Tiongkok, yang juga menghadapi hambatan ekspor ke AS. Namun demikian, Indonesia belum tentu menjadi tujuan utama peralihan ekspor tersebut. Menurutnya, substitusi pasar ekspor dari AS biasanya diarahkan ke negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Uni Eropa.

Dalam konteks ini, tutur Telisa, pemerintah perlu mengantisipasi kemungkinan masuknya barang impor dalam jumlah besar, sekaligus memperkuat instrumen pengamanan pasar domestik tanpa menciptakan hambatan yang bisa dianggap diskriminatif secara internasional.

Selain itu, keputusan pemerintah AS memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap produk Indonesia, kata Telisa, dipicu oleh dua hal utama, yakni tuduhan manipulasi kurs dan penerapan hambatan non-tarif oleh pemerintah Indonesia.

"Jika ingin menurunkan tarif masuk ke AS, maka kita harus menunjukkan upaya untuk menyederhanakan hambatan non-tarif dan membuktikan tidak ada manipulasi kurs," ucap Telisa.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan